Katastrofa

Cerpen Han Gagas
Versi Cetak Harian Kompas, 21 September 2015
Narator Noer Admaja
Ilustrasi Musik Endah Fitriana

Begitu Astrid turun di sebuah stasiun kecil yang lengang, cahaya rembulan membius sepasang rel membuatnya tampak lebih pucat dan kaku. Lampu-lampu merkuri berpendar redup membuat segalanya tampak murung. Penumpang yang turun tak lebih dari tiga orang, kecuali Astrid, mereka bergegas ke pintu keluar.

DINGIN makin menggigit tulang, jarum jam menunjuk pukul 02.30, Astrid merekatkan jaket, dan duduk di sebuah kursi panjang di koridor stasiun. Toko-toko telah tutup padahal perutnya keroncongan. Seorang petugas stasiun memerhatikannya sebentar lalu kembali mengurung diri dalam siaran televisi di depan loket karcis yang tutup.

Saat Astrid meregangkan tubuh, tiba-tiba muncul sosok kecil dari dalam gerbong yang mangkrak. Langkahnya pincang. Terbawa hatinya, Astrid mendekat tapi ia nyaris mati ketakutan saat melihat sepasang mata anak itu yang mendelik. Bulatan hitamnya nyaris tiada, bagian putihnya melotot sempurna!

Ketakutannya buyar, saat jaraknya dengan anak itu makin dekat dan cahaya lampu merkuri menyinari sosoknya lebih jelas. Wajahnya seperti bengkak dengan dahi yang lebar, sedang rahangnya ciut, tangan kanannya bergerak acak tak terkendali. Kepalanya selalu meleng.

Sosok itu langsung menikam perasaan Astrid.

“Maaf, aku bantu….”

 

Astrid memapahnya pelan, mengajaknya duduk. Angin musim kemarau menghempas kencang. Atap stasiun yang melengkung dan lebar berderit-derit. Kawanan kelelawar terbang, mencicit menghunus senyap malam, lenyap di balik menara pengawas.

“Mengapa keluar malam-malam, dingin sekali bukan?” kata Astrid sambil menuntunnya duduk.

Anak itu hanya diam. Bajunya kumal robek bau apak, dan tubuhnya yang penuh daki membuat bau tubuhnya menyengat tajam. Astrid sesekali menahan napas.

Si petugas datang mendekat.

“Anda hendak ke mana?” tanyanya ringan.

“Saya… hmmm, belum tahu, tampaknya saya ingin menunggu kereta selanjutnya.”

“Masih lama. O ya, dia hanya gembel yang tidur dalam gerbong itu, anda tak perlu repot, dan cukup kasihan saja dengan memberinya uang buat beli makan,” tunjuknya pada si bocah.

Astrid tak mengerti arah bicara petugas itu, apakah sedang memerasnya dengan memakai anak ini, ataukah tengah bersimpati padanya yang masih berpikir antara ingin menolong atau segera mengurus keperluan sendiri.

“Bapak tahu?” hanya itu yang keluar dari mulutnya.

“Semua orang stasiun tahu, ia anak yang sangat menyedihkan. Kita semua harus kasihan padanya, orang tua yang kejam, bapak ibunya meninggalkannya begitu saja dalam gerbong. Ia tak hanya buta, bisu tapi juga….” Ia tak melanjutkan kata-katanya.

Astrid tak ingin mendengar apa yang mau dikatakannya karena dengan melihat anak ini saja rasanya sudah cukup. Kata-kata bisa menjadi garam yang menaburi luka pedih, membuat rasa sakit makin bertambah sakit. Ia pilih mengelus rambut anak itu yang kasar bagai ijuk. Pasti sudah berminggu-minggu tak keramas. Mulutnya menguap memerlihatkan gigi-gigi kuning dan kotor, menguarkan bau tak sedap yang menyengat, Astrid menahan napas, dan memalingkan muka. Sikapnya terbaca si petugas.

“Oh tentu ia tak pernah mandi, orang-orang yang kasihan hanya  melemparkan makanan ke dalam gerbong dan ia memakannya seperti monyet. Gerbong itu seperti kandang buatnya, namun itu pula yang membuatnya tak kedinginan dan kehujanan. Dia hanya akan keluar saat stasiun sepi seperti sekarang. Kerumunan orang membuatnya takut.”

Penjelasan petugas itu bagi Astrid terlalu banyak, ia bosan dengan kata-kata, ia mengelus rambut anak itu yang rasanya seperti mengelus dirinya sendiri, rasanya ada kesepian yang sama, kesendirian, dan derita yang sama sebagai sesama perempuan.

“Tidakkah selama ini ada seseorang yang mencoba untuk membantunya?”

“Anda boleh bertanya demikian namun jangan sampai anda berpikir akan mengajaknya pergi. Telah banyak orang yang mengajaknya bahkan membawanya ke panti asuhan, merawatnya dengan baik, namun ia selalu kembali ke sini. Otaknya lemah, mungkin juga telah rusak, dan karenanya banyak orang yang merasa punya hak menghina dan merendahkannya. Barangkali karena itu ia pilih kembali ke sini.”

Udara dingin kembali menggigit tulang saat angin menghempas kencang menerbangkan koran dan kertas tisu. Lampu merkuri stasiun berpendar di sepanjang koridor menyinari kursi-kursi panjang yang diam, dan membeku. Kaca-kaca toko, papan reklame, dan neonbox mulai mengembun.

Astrid merogoh saku, mengambil sejumlah uang, dan mengangsurkannya pada bocah gembel itu.

“Apa kau lapar?”

Bocah itu mengangguk, langsung berdiri dan berjalan terseok-seok. Astrid mengikuti dan menggandengnya.

“Hati-hati di jalan, percayalah kau tak perlu membawanya lebih jauh dari warung di ujung stasiun. Sesudah ia makan, biarlah ia kembali ke sini, dan kau melanjutkan perjalanan!” teriak petugas itu dengan nada panggilan kau yang aneh, tak lagi bersikap sopan santun seperti tadi. Kali ini ada nada perintah yang otoriter dalam ucapannya.

Astrid mengangguk. Mereka menyusuri rel, menuju terang lampu yang berkerlip dari sebuah warung tenda kaki lima.

Sepanjang jalan, gadis itu melenguh namun suaranya seperti tersangkut di tenggorokan. Hanya terdengar suara hah-huh yang keluar. Kepalanya selalu meleng, dan tangan kanannya bergerak tak terkendali.

Mereka memasuki warung yang sepi. Hanya seorang penjual yang duduk terkantuk-kantuk. Mendengar pembeli datang ia terbangun, dan melihat si bocah gerbong, tanpa bertanya ia membuat teh hangat, mengambil nasi, membuka bungkus dan menyajikan semuanya di muka bocah itu.

Tangan si anak mulai meraba-raba, menemukan nasi dan makan dengan lahap. Kepalanya yang meleng nyaris menempel pada permukaan meja. Jemari tangan kanannya dengan cekatan menjumput nasi dan memasukkannya ke mulut. Dari kejauhan barangkali orang akan melihat caranya makan seperti binatang. Wajahnya tak menghadap apa yang dimakan, menengadah tanpa ekspresi, dan makan cepat dengan jemari yang belepotan.

“Mbak tak makan?” tanya si penjual.

Seolah ingin menghapus rasa tak percayanya melihat cara makan anak itu, tanpa menjawab pertanyaan, Astrid mendekati makanan yang tersaji, mengambil sebungkus nasi, lauk, dan duduk di samping si bocah.

“Jahe panas,” katanya lirih.

Penjual itu langsung membakar jahe di atas bara dari arang. Ia memutar radio baterai kecilnya, membuat suara kerit sebentar yang kemudian melatunkan lagu kenangan.

Widuri elok bagai rembulan… oh sayang…

Widuri indah bagai lukisan… oh sayang….

Penjual itu ikut menyanyi mengikuti lagu dari radio. Wajahnya mulai bersinar, tampaknya telah hilang rasa kantuknya. Sembari bernyanyi asal-asalan, ia melangkah mengambil sebungkus nasi lagi, membuka, mengambil lauk, dan kembali menaruhnya di depan bocah itu. Melihatnya seperti melakukan hal yang sudah biasa menimbulkan pertanyaan pada diri Astrid.

“Apakah ia sering makan di sini?”

“Sering. Ada saja orang yang mengajaknya ke sini.”

“Termasuk petugas itu?”

“Petugas mana?”

“Petugas stasiun yang tua dan botak.”

Penjual itu tak menjawab, wajahnya terlihat mengerut aneh seperti tak biasa, hal yang ditangkap Astrid sebagai sebuah ketidakwajaran.

“Petugas itu bilang banyak orang yang ingin mengajak anak ini pergi, namun ia selalu kembali, kembali ke dalam gerbong itu,” tunjuk Astrid pada gerbong mangkrak yang nyaris tenggelam dalam kegelapan.

Penjual itu seakan malas mendengar ucapannya, bibirnya tersenyum kecut.

“Apakah ada yang salah dengan perkataan saya?”

“Tanyalah pada orang lain, aku takut dikira bikin onar!” serunya sambil duduk di kursi, matanya memejam, bibirnya mengatup beku. Udara makin terasa dingin. Angin menggoyang-goyang ke-4 ujung tenda yang masing-masing diikat oleh tali tambang ke sebuah pengait di lantai. Astrid memerhatikan bocah itu yang tengah makan, tampaknya itu suapan terakhir, dan si penjual mendiamkan saja. Barangkali memang sudah jadi kebiasaan ia makan nasi dua bungkus. Tangannya meraih segelas teh hangat, dan meminumnya beberapa tegukan.

“Apakah kau nyaman tinggal di gerbong itu?” tanya Astrid ragu. Ia tak tahu apakah bocah ini mengerti atau tidak, ia hanya mengikuti nalurinya untuk mengajaknya berbicara.

Gadis kecil hanya melenguh pendek. Tanpa disadari Astrid, dia berdiri, menundukkan badan, dan tersenyum, bibirnya lebih tampak seperti menyeringai, lalu berjalan terseok-seok menyusuri rel kembali.

“Mbak tak usah heran, setelah kenyang dia langsung pulang, dia sudah hapal jalannya,” katanya sambil menyajikan segelas jahe yang mengebulkan uap.

Astrid hanya ternganga heran, menatap sosoknya yang membelah kegelapan. Punggungnya tersapu cahaya samar lampu merkuri. Sepasang rel yang pucat mengiringi langkahnya yang sesekali tersaruk-saruk karena tersandung batu bantalan rel.

“Mbak tak perlu merasa bersalah, dunia memang kejam, kabarnya ibunya ingin anak itu mati dalam kandungannya, ia minum banyak pil, namun nyatanya anak itu lebih kuat dari obat aborsi, ia lahir dalam keadaan yang begitu menyedihkan.”

Astrid hanya diam, perasaannya ngilu.

“Ibunya, apakah punya alasan?”

“Apa maksud Mbak?”

“Apakah ibunya korban perkosaan?” tanya Astrid. Ia ingat nasibnya sendiri, ia tahu pula bahwa korban perkosaan bisa hamil.

“Tidak, tidak. Kakeknya tak menyetujui pernikahan mereka.”

“Kakek? Masihkah ada kejadian itu di jaman sekarang.”

“Masih, lihat itu, lelaki botak petugas itu, dia adalah kakeknya. Ah…” Lelaki tua itu seperti menyesal karena terlalu banyak bicara.

“Petugas itu?”

“Ya, kalau tanpanya, bagaimana bisa seorang gembel boleh tidur seenaknya di gerbong yang walaupun mangkrak, stasiun ini juga jawatan resmi milik pemerintah.”

Dari kejauhan, Astrid melihat si petugas mendekati langkah anak itu, meraih tangan kanan, dan menggandengnya berjalan. Lampu merkuri yang paling dekat dengan mereka berkedip-kedip seperti hendak mati. Angin masih bertiup kencang menghempas tenda warung. Astrid menguatkan kelopak matanya, menahan air mata yang hendak jatuh.

 

 

Bagikan Postingan ini