Kereta Bayi

Penulis : Ida Ahdiah
Versi Cetak Koran Jawapos 2009
Penutur : Ida Ahdiah
Ilustrasi music Endah Fitriana

DOWNLOAD 

 

KERETA BAYI

Ayu memberitahu Danil, seharian ia akan bersama Sophie yang  punya kereta bayi bermerek dan bermodel sama dengannya.  Warnanya merah muda, kendati bayi Sophie laki-laki.  Ayu dan Danil sempat berdebat soal warna itu. Tapi kemudian mereka berkesimpulan, keliru mereka berdua menganggap merah muda hanya untuk perempuan. Lihat, warna-warna kemeja, dasi, topi, sapu tangan untuk laki-laki ada juga  yang pink!

Tiap hari Ayu dan Sophie  mengelilingi taman kota. Sophie mendorong kereta Keyla, putrinya yang berusia 10 bulan. Sophie  mendorong  kereta Nathan, delapan  bulan. Keduanya merasa itu olahraga terbaik, bergerak sambil menghirup udara segar, mengasuh anak, dan mengobrol.

Ayu bukan tergolong yang suka seharian berada di gym, mendayung sepeda statik sambil  mendengarkan ipod dengan ear-phone di telinga. Di musim dingin pun ia lebih suka skating dan main ski dengan pelindung dingin yang memadai. Apalagi di musim semi seperti saat itu. Ia tak mau kehilangan pohon-pohon lilak berbunga yang  menyebarkan harum tak berkesudahan, sepanjang hari dan malam hingga bunga-bunga layu, disiram matahari musim panas.

“Kau akan main dengan Madame Sophie  yang memberimu keju tua, yang baunya… Sudah kau buang ke tong sampah?” ujar Daniel

Ayu tertawa. “Pernah kubawakan dia keripik tempe Bandung. Katanya, enak.”

“Katamu dia mengadopsi bayi dari Haiti.”

Ayu mengangguk. “Anak keduanya dari Haiti. Anak pertamanya  adopsi dari Korea, yang terakhir Nathan dari Cina.”

“Sungguh pemurah dan penyayang.”

“Anak dengan berbagai warna kulit.”

“Dia tak punya anak sendiri?”

“Aku tidak tahu. Jangan lupa bekal makan siangmu. Tinggal buah yang belum kumasukkan ke kotak makan siangmu.”

“Terima kasih,” Danil mencium dahi Ayu.  Mencium pipi Keyla di gendongan Ayu.

“Selamat berolahraga, ya. Jangan keasyikan ngobrol sampai lupa memberi makan siang Keyla. Kapan-kapan, di akhir pekan, undang Sophie makan di rumah. Kita buatkan  gado-gado.”

“Akan kutawarkan padanya,” Ayu menutup pintu.

Ayu dan  Sophie bertemu pertama di taman kota. Saat itu Ayu tengah membuka bekal makan siang, mie goreng sosis, dengan selada  di tepi danau, di bawah pohon oak tua, yang pendek tambun, seusai berjalan keliling taman. Sejak musim semi, hampir tiap pagi ia keluar dan makan siang di udara terbuka. Bahkan kadang menghabiskan sebagian sore di sana. Membiarkan Keyla tidur  sementara ia membaca. Ia kadang  bosan menghabiskan setahun  masa cuti hamilnya di rumah. Makanya, kata Mbak Win, “Lebih baikdi Indonesia cuti hamil cuma tiga bulan…”

Ayu  punya daftar kegiatan untuk mengisi cutinya. Antara lain ia menulis, dengan bimbingan buku ia akan mengurus Keyla. Sesuai dengan usianya akan mengenalkan Keyla pada warna, suara, rasa, dan raba. Ia akan membaca novel-novel yang tak pernah sempat dibacanya. Juga ia akan belajar membuat masakan Indonesia lebih serius agar jika  ada pot-luck dengan teman-temannya,  ia  bisa memamerkan lumpia dan bihun goreng, hasil olahannya. Bukan lagi makanan beku yang ia panaskan sebelum dihidangkan.

Ia iri pada teman-teman Italinya yang membuat lasagna  dan saus tomat sendiri. Juga membuat tiramisu yang lezat di dapurnya.   Dia tak pernah bercerita kalau di tanah air selalu ada Mbak, Emak, atau Mpok, yang memasak di dapur.  Namun rencananya itu tak berjalan mulus. Ia  sering  lupa dan malas.

Dan siang itu ia tak tahu kehadiran Sophie, hingga dia memarkir kereta bayi di sampingnya seraya berkata, “Kita punya selera yang sama, lihatlah kereta bayi kita, merah muda! Yang membedakan keretamu ada  boneka tawonnya.” Sophie  mengulurkan tangan, mengenalkan diri.

Seorang perempuan asing yang ramah, pikir Ayu, seraya mempersilakan duduk bersisian di bangku taman. Lima menit kemudian mereka sudah terlibat pembicaraan tentang anak, buku, makanan, pemilihan presiden Amerika, dan tentang lubang-lubang di jalan raya yang belum mendapat perhatian  pemerintah kota. Setelah itu, setiap hari mereka bersama, di taman.

Kemarin  Ayu tersentuh mendengar Sophie bercerita tentang perjuangannya mendapatkan  Nathan.

“Teman-teman kaget waktu saya bisa mengadopsi  Nathan hanya dalam waktu enam bulan. Biasanya butuh waktu dua  sampai tiga tahun.”

“Barangkali karena kau sudah pengalaman, mereka percaya.”

“Itu bukan ukuran.  Tetap saja saya harus mengikuti aturan. Saya harus sehat lahir batin, punya pekerjaan, punya tempat tinggal,  tabungan, dan dianggap mampu mengurus anak. Seseorang dari dinas sosial akan datang berkunjung dan memantau apakah saya layak mengadaopsi anak atau tidak.”

“Kau lulus semua itu bukan?”

Sophie mengangguk. “Tapi menurut aturan normal tetap saja saya harus menunggu tahunan.”

“Lantas apa yang kau lakukan. Menculiknya atau menyogok pejabat-pejabat terkait?” Canda Ayu.

Sophie tertawa. “Saya pernah mengunjungi panti asuhan di Cina. Ratusan ribu bayi menunggu  untuk diadopsi. Tapi berapa banyak orangtua yang mampu. Bukan mau ya, tapi mampu mengadopsi.  Keadaan mereka mengenaskan, tidur berjejer, bertumpuk lebih tepatnya, kurang gizi, dan kebersihan tidak terjaga. Banyak bayi  yang rambutnya berkutu. Kasihan. Kupikir mereka tak keberatan jika kita  menculiknya. Kau tertarik mengadopsi?”

Ayu menggeleng. “Tak semua orang berbakat jadi orangtua asuh. Keyla  sudah cukup membuat aku dan suami bahagia.  Bertahun-tahun kami menunggu kehadirannya.  Bertahun-tahun kami dalam pengawasan dokter. Akhirnya bidadariku lahir….” Ayu menepuk-nepuk pipi Keyla.

“Bidadari yang super cantik.”

“Terima kasih. Oh, tentang Nathan, bagaimana kau mendapatkannya?”

“Sebuah agen  memberi saran dan membuka rahasia bagaimana bisa  mengadopsi bayi cepat, tapi berisiko.”

Ayu menatap Sophie, “Kedengarannya seram betul.”

“Seperti juga pakaian ada juga bayi yang rejected...”

“Oh, ya.”

“Bayi-bayi itu biasanya punya cacat fisik. Jarinya tidak lengkap, bibirnya sumbing, kakinya kecil satu, telinganya tak sempurna…Bayi-bayi itu ditampung di panti asuhan khusus, karena nyaris tak ada orang mau mengadopsi. Itu sebab proses adopsiku cepat.”

Ayu menarik nafas. “Apa yang terjadi pada  Nathan?”

“Jari tangan kanannya  tak lengkap. Tiga di antaranya lebih kecil. Perkembangan lainnya normal. Saya tidak keberatan. Saya mencintainya.”

Ayu ingin tahu, apa yang akan terjadi jika kelak bayi yang ia adopsi cacat mental. Tapi pertanyaan itu ia urungkan.  “Sungguh luhur hatimu. Beruntunglah Nathan, memperoleh orangtua sepertimu.’’ Ayu beranjak hendak membuka selimut Nathan.

Namun,  Sophie melihat jam tangan dan berteriak, “Nyaris terlambat menjemput Marie.”  Ia mendorong Nathan berlari-lari kecil.

Marie duduk di kelas 1 SD.  Kata Sophie, ia masih dalam daftar tunggu untuk masuk After School Program tempat Marie melanjutkan kegiatan setelah jam sekolah.  Dengan itu Sophie bisa menjemputnya senja hari, sebelum pukul enam.

“Sampai besok,  teriak Sophie.

Ayu berujar pada dirinya,  Sophie pantas menjadi ibu dari tiga anak adopsi. Ia dilimpahi begitu banyak energi, kasih sayang, dan Ayu berupaya mencari kata yang tepat untuk menggambarkan keikhlasan  memilih bayi yang jarinya tidak lengkap. Hal pertama yang ia tanyakan kepada dokter ketika Keyla lahir adalah “Apakah jari kaki dan tangannya lengkap?”

Nathan juga bayi yang baik. Ia lebih sering tidur pulas, tidak pernah rewel. Sementara Keyla  menjerit-jerit kalau pampernya basah atau lapar. Menurut Sophie jam tidur Nathan panjang. Ia akan terbangun saat makan siang. Dua kali Ayu melihatnya terbangun dan menimangnya.

Hari ini  Sophie berjanji akan  tinggal lebih lama dan makan siang bersama Ayu di taman. Sejak kemarin Marie sudah masuk After School Progam. Sophie tak perlu lagi menjemputnya sepulang sekolah. Ayu senang karena ia akan punya waktu lebih panjang bersamanya .

Kehadiran Sophie  membantunya menghilangkan rasa kangen pada Ibu, Bapak, Mbak Win, dan Mas Aryo. Mami  dan Papi mertuanya  akan datang  musim dingin, bulan November. Saat itu harga tiket  murah dan akan naik lagi menjelang Natal dan Tahun Baru.

Ayu berencana membuat sandwich salmon untuk mereka berdua. Ikan kaleng itu ia campur dengan mayonaise, irisan seledri, daun bawang, lalu dibubuhi merica, garam dan dua percik air jeruk. Lainnya ia membawa apel dan batang-batang wortel mentah. Ayu juga  mengemas minuman dan makanan untuk Keyla.

Keyla tidur  lelap ketika pukul 10 Ayu mendorongnya keluar apartemen. Matahari musim semi hangat menyapu kulit. Ayu mengenakkan sepatu joging, celana pendek, dan kaos tanpa kerah. Berat tubuhnya belum kembali ke asal, tapi  menurut Danil itu berat tubuh idealnya. Tidak terlalu kurus dan gemuk. “Berat tubuh seorang ibu,” begitu istilahnya.

Mungkin Daniel hanya ingin  menyenangkan hatinya. Di depan cermin Ayu melihat tubuhnya lebih berisi. Nomor celananya naik satu angka. Tapi ia suka dengan ‘berat tubuh seorang ibu’ itu. Ia membungkuk mencium Keyla, menutupi wajah Keyla dengan tudung kereta bayi. Kasihan kalau ia terbangun karena silau matahari.

Sophie sudah menunggu di taman ketika Ayu tiba.  “Aku melihat ada bazar di taman sebelah sana. Kelihatannya banyak barang kerajinan dan makanan. Tertarik untuk melihat?”

“Ayo, sekalian cuci mata. Siapa tahu aku  menemukan sesuatu buat Keyla.”

“Biasanya dijual sweater anak-anak. Katanya hasil rajutan nenek-nenek yang tinggal di gedung panti jompo itu,” Sophie menunjuk gedung tinggi. “Itu panti jompo semi privat yang fasilitasnya seperti hotel bintang lima. Ketahuan kalau penghuninya punya pekerjaan bagus selagi muda. “

Sophie menyebut bazar itu sebagai ‘old day’ bazaar. Sebagain besar barang-barang yang dijual adalah buatan orang tua, model tua, dan dijual oleh mereka juga. Rajutan taplak meja, sweater, sepatu musim dingin, dan sejenisnya bermodel abad silam. Kue yang dijual seperti bolu labu, pie apel, dan  biskuit kismis.  Buku-buku bekas yang dijual ada yang terbitan tahun 1910-an.

Ayu membeli selembar sweater hijau dan sepatu rajutan oranye. Juga dua buah bolu labu. Keyla yang terbangun dan menangis menjadi perhatian nenek-nenek, yang mengerubunginya dan ingin memangkunya. Sementara Nathan  tampak tidur pulas kendati suasana ramai bukan main.

“Aku ingin ke kamar mandi dulu.” Sophie menuju perpustakaan kota yang letaknya di tepi taman. “Pernah ke situ?”

Ayu menggeleng.

“Koleksi  buku dan dvd anak-anaknya bagus, ‘’  sambung Sophie.

“Bagaimana jika hari ini  kita mengisi waktu di sini,”  kata Ayu sambil mendorong pintu  bangunan tua  itu dengan punggungnya. .

“Ide yang bagus.”   Sophie mengikuti langkah  Ayu masuk ke perpustakaan yang senyap. Pengunjung  terbenam dalam buku dan majalah yang mereka baca.

Sophie berhenti di depan kamar mandi.  “Setengah jam lagi  Nathan bangun. Kalau bangun sebelum waktunya dia rewel.”  Ia menutup bibirnya dengan telunjuk.

“Oke,” kata Ayu sambil memeriksa makan siang Keyla, tim ayam dan parutan wortel.

Sementara Keyla tampak gembira, menarik-narik tawon mainnya yang digantung di atas kepalanya dan menimbulkan bunyi zzzz. Ayu mencium gemas pipinya.

“Kau mau ke kamar mandi juga?”  kata Sophie lima menit kemudian.

“Kita memberi makan siang Keyla dan Nathan  di taman. Dilarang  makan minum di sini,’’  bisik Ayu seraya beranjak ke kamar mandi.

Sophie  membuka selimut Nathan. “Ia mulai menggeliat,” bisiknya.

“Tolong awasi Keyla.”

Sophie  membelai rambut Keyla. “Kamu akan baik-baik bersama Sophie bukan, Cantik?”

Lima menit kemudian Ayu keluar. Ia kaget  tak melihat kereta bayi Nathan.

“Tante Sophie membiarkanmu sendirian, sayang. Keterlalun…” Dengan kesal Ayu menarik boneka tawon yang menggantung di samping kepala Keyla.

Ia menepuk-nepuk  pipi Keyla, membungkuk hendak menciumnya. Namun jari tangannya  menepuk benda keras,  pipi boneka laki-laki, yang sedang tidur!

“Keyla…” Ayu berteriak, berlari, meraung lantas jatuh tak sadarkan diri.

 

Montreal – Jakarta 2008

 

 

 

 

Bagikan Postingan ini

Leave a Comment