Meraih Bintang Impian

Cerita anak Susana Febryanty
Versi Cetak Gora Pustaka Indonesia 2019
Narator Indah Darmastuti
Ilustrasi musik Endah Fitriana

            Suasana pagi itu tampak begitu cerah. Mentari yang memancarkan sinar kehangatan dan burung-burung yang berkicauan memberikan energi bagi setiap orang untuk memulai hari dengan semangat yang baru. Namun, energy itu sepertinya tak mampu menembus sebuah kamar. Di kamar itu tampak seorang anak perempuan berusia  10 tahun yang masih asyik bersembunyi di bawah selimut.

            Hingga seorang perempuan dewasa kemudian masuk ke kamar tersebut. Perempuan itu segera membuka tirai sehingga sang surya dapat memancarkan sinarnya ke dalam ruangan itu. Namun gadis kecil itu masih tak bergeming. Ia masih nyaman dengan pelukan hangat selimut yang membalutnya.

            “Bintang, ayo bangun. Kamu kan harus sekolah, Nak,”ucap Bunda sambil menarik selimut yang menutupi tubuh dan wajah gadis kecil itu.

            Bintang diam seribu bahasa. Dengan malas, ia bangkit dari tempat tidurnya dan segera pergi ke kamar mandi.

***

            Sesudah mandi dan mengenakan seragam, Bintang bergegas menuju ruang makan. Di sana sudah ada Ayah, Bunda, dan Awan, kakaklaki-lakinya. Ketiganya tengah menyantap nasi goreng yang dibuat Bunda. Saat Bintang duduk di kursi, dengan sigap Bunda menyajikan nasi goreng di sebuah piring dan diletakkannya di depan Bintang.

            “Ayah, Bintang ingin balik Jakarta. Apa tidak bisa kita kembali saja dan tinggal di Jakarta lagi seperti dulu. Bintang tidak suka di sini. Bintang tidak cocok dengan sekolah yang sekarang,” pinta gadis kecil itu sebelum memasukkan sesendok nasi goreng ke mulutnya.

            “Ada apamemangnya, Nak? Apa yang bikin Bintang tidak suka dengan sekolahnya? Apa ada yang mengganggumu…?” tanya Ayah lembut.

            “Bintang nggak suka dengan sekolahnya, Ayah. Bintang nggak punya teman di sini. Ditambah lagi ada pelajaran bahasa daerah yang sulit bangeta kuikuti. Please ya, Yah. Atau gini aja Yah, bagaimana kalau Bintang tinggal bareng Tante Fany di Jakarta? Boleh ya, Yah.”

            Sebelum Ayah menjawab, tiba-tiba Kak Awan berujar, “Ah, payah kamu Bintang. Masa gitu aja kamu nyerah. Katanya kamu pengen jadi diplomat kayak Om Bagas. Kalau sama pelajaran bahasa daerah saja kamu udah nggak bisa, bagaimana mungkin bisa jadi diplomat. Biar kamu tahu ya, kata Om Bagas, untuk bisa menjadi diplomat itu kamu paling tidak harus bisa menguasai lima bahasa. Selain itu, seorang diplomat harus punya kemampuan komunikasi yang baik. Lah, kamu berteman aja nggak bisa. Udah gitu cengeng pula. Hahahaha….” 

            “Sudah, Awan. Adiknya jangan diejek terus. Bintang, keinginanmu itu sulit untuk Ayah wujudkan. Jadi Ayah minta kamu harus belajar untuk menyesuaikan diri dengan sekolah yang baru. Ayah yakin kamu pasti bisa kok,” ucap Ayah tegas menutup pembicaraan itu.

***

            Seluruhtemansekelas Bintang terlihatgembiramendengarsuara bel istirahat berbunyi. Namun mendadak wajah mereka berubah lemas ketika Bu Ratmi, wali kelas mereka masuk ke ruang. Ada maksud apakah sehingga guru kelas tersebut mendadak masuk saat jam istirahat? Tanya anak-anak tersebut dalam hati.

            “Anak-anak dalam rangka HUT sekolah akan diadakan lomba paduan suara berbahasa Jawa. Setiap kelas diwajibkan mengikuti lomba ini. Pemenang dari lomba ini nantinya akan disertakan dalam lomba paduan suara tingkat kabupaten.  Jadi kita harus mempersiapkan sebaik-baiknya. Ada yang punya usul untuk persiapan lomba ini?”

            Awalnya Bintang tak begitu antusias dengan lomba tersebut. Tapi ia teringat ucapan Kak Awan tadi pagi. Ia merasa tertantang ingin menunjukkan bahwa dirinya tak selemah anggapan kakaknya itu. Sebuah ide pun muncul di bendaknya. Dengan segera ia mengacungkan tangan ke atas.

            “Ya, Bintang. Ada usul apa?” tanya Bu Ratmi.

            Kelas itu mendadak sepi. Semua mata memandang ke arah Bintang. Ia pun berdiri di tempat duduknya. Ditariknya napas panjang, mencoba menenangkan diri agar tak tampak gugup di hadapan teman-temannya.

            “Kalau boleh, saya ingin Bu Guru dan teman-teman semua untuk berlatih paduan suara di rumah saya. Kebetulan di rumah saya ada alat musik keyboard yang bisa digunakan untuk mengiringi latihan kita nantinya.”

            “Wow, usul yang menarik. Bagaimana anak-anak?”

            Semua anak menyambut gembira usul yang diberikan oleh Bintang. Karena tak ada yang menolak usul tersebut maka Bu Ratmi pun berkata, “Baiklah, mulai sore ini kita latihan di rumah Bintang jam 4 sore ya, anak-anak.”

***

            Sore harinya, teman-teman sekelas Bintang datang dan berlatih paduan suara bersama guru mereka, Bu Ratmi. Mereka berlatih dalam suasana yang santai namun tetap serius. Bintang mulai merasa nyaman dalam kebersamaan dengan teman-temannya itu. Selesai latihan, beberapa teman dan Bu Ratmi pun berpamitan pada Bintang serta Bunda. Namun Niken yang rumahnya selisih beberapa rumah dari sana tetap tinggal.

            “Wah, Bintang, kamu ternyata orangnya baikya. Aku dan teman-teman ternyata salah mengira tentangmu. Kami piker kamu orangnya sombong. Soalnya kamu kelihatan kayak nggak mau bergaul dengan kami,” kata Niken tiba-tiba.

            “Maafya, kalau kalian jadi salah paham mengenai aku. Aku sebenarnya bingung mau ngobrol apa dengan kalian. Soalnya kalian sering pakai bahasa Jawa. Padahal aku nggak paham sama sekali.”

            “Kamu bisa belajar bahasa Jawa dengan Mbakku yang guru bahasa Jawa,” usul Niken.

            Sejak saat itu, hubungan Bintang dan teman-temannya semakin akrab. Apalagi ia dan Niken bersahabat karib. Semua pengalaman tersebut semakin meyakinkan Bintang untuk mewujudkan cita-citanya menjadi seorang diplomat.        

Bagikan Postingan ini

Leave a Comment