Dandelion dan Juru Taman

Cerpen Gunawan Tri Atmodjo
Versi cetak Antologi Dongeng Bahagia dari Sebelah Telinga, Divapress 2019
Narator : Indah Fadilla

Kredit musik:

1. Love – Ketsa
2. A Song for Peace – Siddharta Corsus
3. Requim -Sandro Marinoni
4. Guilty – Jahzzar

PEREMPUAN itu jatuh cinta pada dandelion sejak pertama kali melihatnya dalam sebuah film kartun. Menurutnya, dandelion adalah bunga tercantik meskipun ia hanya bunga rerumputan. Dia selalu membayangkan memetik setangkai dandelion lalu meniupnya dan serbuk- serbuk bunga dandelion akan beterbangan. Dan, salah satu serbuknya menerpa seorang lelaki yang kelak akan menjadi suaminya.

Perempuan itu dianggap sebagai pemimpi kesiangan oleh kawan-kawannya ketika menceritakan tentang kecintaan dan angan-angannya itu. Tak satu pun di antara mereka yang bersedia menemaninya ke taman kota untuk mencari bunga rumput itu.

Pagi itu bukan hari libur. Taman kota yang dikelilingi tembok tinggi itu masih sepi. Hanya ada beberapa orang pengunjung yang datang untuk berolahraga. Dengan langkah ringan dia lewati taman reptil, gedung pertunjukan, panggung alam terbuka, dan kolam perahu angsa. Matanya senantiasa mencari dandelion dengan jeli. Serangkaian bangku dan kursi taman masih basah dan dingin. Tampaknya pencariannya di area ini nihil hasil. Dia pun mencari dandelion di area taman yang lain.

Sesampainya di ujung taman, dia membuka pintu pagar lalu menutupnya lagi agar kawanan menjangan tidak masuk ke area itu. Dia meneruskan pencarian hingga pelosok taman yang lebih gelap oleh lebatnya pepohonan. Area yang mirip hutan buatan itu adalah tempat pembibitan tanaman. Bunga- bunga di area itu merekah segar menyebarkan warna pada kelopak matanya yang mendamba.

Ada semak-semak rumput di pinggir setapak dan sepan- jang tembok taman. Diamatinya segala yang terhampar dengan teliti, tetapi lagi-lagi sia-sia. Tak ada dandelion, yang ada hanya rumput teki dan sejenisnya. Setengah putus asa, dia hampiri seorang juru taman muda yang sibuk merawat magnolia di area pembibitan itu.

***

Lelaki itu sangat mencintai tumbuh-tumbuhan dan selalu membayangkan bahwa dirinya dilahirkan di sebuah taman. Dia juga mengangankan diri sebagai Adam sebelum dibuang ke dunia, menghuni taman surga bersama Hawa. Dia memimpikan sebuah ketelanjangan akan halnya hewan- hewan yang tak pernah berpakaian. Ketelanjangan itu alamiah dan diterima makhluk lainnya tanpa kejijikan.

Namun, kenyataannya dia tidak dilahirkan di taman, tetapi di sebuah klinik bersalin sederhana di pinggiran kota. Dia bukan Adam, melainkan hanya lelaki muda dengan kegandrungan yang berlebihan pada tumbuh-tumbuhan. Maka, tak ada pekerjaan lain yang lebih sempurna baginya selain menjadi juru taman yang dijalaninya dengan sepenuh cinta.

Setelah mendapat penanganannya, taman itu menjelma firdaus yang hilang. Di jantung kota yang terapit gelanggang olahraga serta pasar burung dan ikan, taman itu berdenyut memompakan oksigen bagi penduduk kota yang dicekoki polusi tiap hari. Taman itu juga menjadi tempat rekreasi yang mudah dan murah. Di taman itu, kejenuhan kaum urban ditepikan dan dimurnikan.

Pagi itu dia sedang merawat magnolia. Sentuhannya begitu telaten dan keibuan. Dia dikejutkan oleh kehadiran seorang perempuan yang menanyainya dengan nada seorang pendoa, “Di mana aku bisa menemukan dandelion?”

***

Mata mereka bersitatap. Sejenak ada diam yang merekah, ada sunyi yang mengembang. Barangkali suasana yang terbangun saat itu serupa ketika Adam dan Hawa bertemu kembali di dunia setelah terbuang dari surga. Ada rindu yang asing. Ada takdir yang gemetar di garis tangan. Juru taman itu membuka topi jeraminya dan melihat perempuan di hadapannya dengan takjub.

“Tak ada dandelion di taman ini. Tumbuhan itu tak diizinkan hidup di sini.”

Perempuan itu tampak kecewa dan entah kenapa hal ini seakan melukai hati si juru taman.

“Bisakah kau menanam dandelion untukku?”

Juru taman itu menunduk. Dia tampak berpikir keras sebelum berucap lembut.

“Aku tak bisa menanamnya di sini, tetapi aku bisa menumbuhkan dandelion di ladang mimpimu.”

“Bagaimana caranya? “Mari ikut aku.”

Mereka kemudian berjalan makin ke pelosok. Di bawah pohon akasia raksasa yang di batangnya terdapat tumbuhan paku-pakuan, si juru taman menghentikan langkah dan bertanya lirih, “Bolehkah aku menciummu?”

***

Ladang itu semerbak oleh hamparan dandelion. Angin bertiup agak kencang dari barat mengempaskan tangkai- tangkai dandelion. Beberapa dandelion terenggut angin lalu tertiup ke bagian timur ladang.

Perempuan itu menangkap setangkai dandelion yang terbawa angin ke arahnya. Lalu dia meniupnya dan segera saja serbuk dandelion bertebaran menari di udara bagai parasut- parasut mungil yang gembira. Dengan keriangan tiada terkira perempuan itu kemudian mengempaskan tubuhnya ke atas hamparan dandelion yang menyerupai ranjang hidup lalu memandang paras langit yang birunya mendamaikan. Di rambutnya, tangkai-tangkai dandelion berpilinan, tiada rasa gatal, tiada ulat jahat yang mengganggu. Diambilnya lagi setangkai dandelion lalu meniupnya. Serbuk-serbuk lembut bunga kembali membayang di bola matanya dan dengan gesit segera terbawa embusan angin.

Seserbuk dandelion terbang menjauh hingga ke ujung ladang. Perempuan itu mengejarnya. Serbuk itu mendarat pada seorang lelaki yang tak berusaha menghindarinya. Lelaki itu tak asing lagi bagi si perempuan. Dialah si juru taman. Tiba-tiba seperti déjà vu. Perempuan itu merasa seperti Hawa yang telah berkeliling penjuru dunia demi menemukan Adam. Penuh haru dia menatap wajah juru taman itu. Dan, juru taman itu membalas tatapannya dengan pandangan sayang yang tak pernah lekang. Juru taman itu berkata seperti orang sedang berdoa, “Inikah taman firdaus itu? Tak ada yang lebih nikmat ketimbang berladang di mimpimu.”

Perempuan itu terharu mendengarnya. Air matanya menetes hingga ke pelupuk matanya ketika terjaga.

***

Taman kota itu digemparkan oleh kematian mendadak si juru taman. Dia terjatuh saat hendak menyelamatkan seekor anak prenjak yang terjepit paku-pakuan akasia raksasa. Semesta taman kota itu berduka. Dinas Pertamanan Kota menghargai dedikasi si juru taman dengan bijaksana. Setelah berembuk, mereka mengabulkan permohonan keluarga yang ingin memakamkan si juru taman di bawah pohon akasia raksasa—tempat kegemaran almarhum. Upacara pemakaman berlangsung sederhana. Setiap pelayat dapat merasakan linang kesedihan segenap tumbuhan dan hewan penghuni taman.

***

Perempuan itu tak mendengar kabar kematian si juru taman. Tiga hari setelah memimpikan ladang dandelion, dia baru bisa mengunjungi taman kota. Dia datang di pagi yang sepi seperti kunjungannya terdahulu. Pembeda kedua kunjungan itu adalah kali ini dia tak mencari dandelion, tetapi sekadar ingin menemui si juru taman. Dia ingin berucap terima kasih karena si juru taman telah mewujudkan mimpinya tentang dandelion. Sedikit-banyak dia juga telah menafsirkan mimpi itu—perihal sosok lelaki yang diterpa dandelion yang diidamkannya menjadi jodohnya.

Sebenarnya dia merasa sedikit bersalah karena tempo hari menolak permintaan ciuman dari si juru taman. Perempuan itu dapat membaca kekecewaan dan kesedihan si juru taman atas penolakannya. Namun, meski tertampar oleh penolakannya, toh juru taman itu tetap menepati janjinya akan ladang dandelion di mimpinya. Dari sini, perempuan itu dapat menakar kebesaran hati si juru taman.

Berita kematian mendadak si juru taman secara telak memukul batin perempuan itu. Keterangan menyedihkan ini dia peroleh dari tukang parkir taman setelah usaha mencari juru taman berujung kegagalan. Dengan langkah gemetar, dia menuju ke makam juru taman. Empat hari lalu, di tempat yang sama, dia menolak permintaan ciuman si juru taman dan sehari kemudian juru taman itu meninggal dunia. Jika tahu demikian, tentu dia akan meluluskan permintaan juru taman itu. Setidaknya, ciuman itu akan mempermanis hidup si juru taman sebelum berpulang ke alam baka.

Gundukan tanah dengan taburan bunga itu masih segar. Di pusara itu dia berdoa dengan sepenuh cinta. Mimpi ladang dandelion itu tak disangkalnya lagi telah menumbuhkan cinta di hatinya pada si juru taman. Tak terasa air matanya jatuh di pusara itu. Ada sesuatu yang harusnya mereka bicarakan saat itu dan hanya disesap kesenyapan taman.

Dalam sesenggukan yang tertahan, perempuan itu lamat-lamat mencerap pemahaman akan perkataan si juru taman  dalam  mimpinya.  Perkataan  tentang  taman  firdaus dan kenikmatan berladang di mimpinya. Perempuan itu menafsir perkataan juru taman itu sebagai isyarat pamitnya sebagai juru taman kota dan beralih menjadi peladang dandelion di mimpinya. Tafsirnya itu diyakinkan dengan kenyataan bahwa sehari setelah dia mendapat mimpi itu, si juru taman meninggal dunia.

Seberkas cahaya terang membuncah dalam diri perempuan itu akibat tafsirnya sendiri. Perempuan itu merasa terkuatkan oleh kemungkinan pertemuan kembali dengan si juru taman di ladang dandelion mimpinya. Dan, hal itu sudah lebih dari cukup untuk membuatnya pulang dengan hati lapang.

***

Perempuan itu tak pernah lagi menginjakkan kaki di taman kota itu karena pindah ke kota lain untuk urusan pekerjaan. Perempuan itu tak pernah tahu bahwa tetes air matanya di pusara itu secara ajaib telah menumbuhkan dandelion.

Sepasang muda-mudi yang sedang kasmaran dan mengibaratkan diri sedang bertualang di hutan adalah penemu pertama rumput cinta yang tumbuh di pusara itu. Saat itu keduanya juga tiba-tiba merasa seperti Adam dan Hawa yang kembali dipertemukan setelah dibuang ke dunia.

Lalu keduanya selfie di depan pusara itu, mengunggah gambarnya ke jejaring sosial, dan berita tentang dandelion itu segera tersebar ke penjuru kota.

Solo, 2015

Bagikan Postingan ini