Ratna Ayu Budhiarti
Cerpen ini dimuat di majalah Femina Edisi 04: 26 Jan-01 Feb 2013
Aku tak habis pikir, koleksi handuk ibu seingatku ada lebih dari lima, tapi kenapa hanya handuk belang ini yang sering dipakainya mandi? Kalau boleh kukatakan, handuk itu tidak bagus-bagus amat, warnanya pun tidak istimewa, bukan handuk bermerek Terry Palmer yang lembut itu, atau minimal handuk yang sering nongkrong di rak-rak di supermarket. Tapi kenapa ibu lebih sering memakai handuk belang biru langit, putih, kuning, dan oranye ini? Seperti pagi ini, sehabis mandi, setelah melihat gunungan pakaian kotor yang sedang kupilah-pilah antara baju putih, berwarna-warni, sampai celana dalam dan baju si kecil, ibu mengulang rutinitas yang sama setiap minggu (kadang-kadang merupakan rutinitas empat harian, tergantung suasana hati ibu).
“Neng, tolong sekalian cuci handuk ini! Mumpung matahari terang, jemur saja di luar, biar nanti sore bisa dipakai lagi”, ujar Ibu
“Tapi kan handuk Ibu masih banyak yang lain, kalau tidak kering pakai yang lain saja”.
“Handuk yang mana? Yang pink terlalu pendek, tidak enak, yang kuning kasar, kulit ibu sering sakit kalau menggosok badan pakai handuk itu”, ibu beralasan lagi, seperti biasa.
“Kan masih ada yang biru, yang hijau, atau yang gambar apel, bu, yang itu sajalah… Apa Ibu tidak bosan pakai handuk yang itu-itu saja? Neng aja bosan lihatnya”, tukasku menangkis alasan ibu.
“Ah, sudahlah, pokoknya ibu mau pakai handuk ini lagi nanti sore, titik!”
“Ih, tak ada variasi, yang dicuci handuk ini lagi, ini lagi”, gerutuku sambil manyun
“Kan variasinya ada di baju ibu yang lain, Neng”, pipiku dijawil, ibu pergi ke dapur.
Tuh kan, apa kubilang! Setiap kali aku mencuci baju, pasti ibu menitipkan handuk itu untuk kucuci. Setiap kali aku memprotes, ibu selalu bilang handuk belangnya lebih nyaman dipakai. Pernah suatu ketika aku berkelakar akan menjadikan handuk ibu kain lap saja karena warnanya sudah mulai kumal, ibu langsung melotot, sehingga aku langsung bungkam. Jika ibu sedang melotot begitu, ibu seperti penari Bali, biar melotot tetap kelihatan indah dan cantik. Sepertinya mata ibu itu yang membuat almarhum bapakku jatuh cinta. Ah, tapi mungkin bukan, sebab seingatku dulu bapak cerita kalau rambut panjang dan badan sintal ibu yang membuat hatinya luluh. Barangkali bapak dulu lupa bilang kalau mata ibu juga menarik, dengan bola mata coklat yang diwariskannya padaku.
Pernah sekali waktu aku menyembunyikan handuk belang ibu di sela-sela tumpukan bajuku di lemari setelah kering dijemur. Sampai ibu nyaris tak jadi mandi karena mencari-cari handuk kesayangannya, hingga akhirnya menyerah sebab adzan Maghrib berkumandang dan ibu paling tidak suka mandi selepas waktu maghrib. Kala itu handuk hijau yang digunakannya sebagai pengganti, sebab aku beralasan lupa menaruh handuk dan beberapa baju lainnya. Maafkan aku, Ibu, terpaksa berbohong, sebab aku ingin meminjam dulu handukmu untuk kuteliti. Sehari saja.
Diam-diam kuamati senti demi senti handuk belang biru langit, putih, kuning, oranye itu. Tak ada yang istimewa. Kutelisik pinggiran jahitannya: sempurna. Kupejamkan mata dan merasakan serat-serat handuk itu di telapak tanganku, sedikit agak kasar, tidak lembut seperti yang ibu bilang. Kuulangi kedua kalinya, tetap tak ada yang istimewa: bukan handuk berkelas seperti di iklan televisi tempo hari itu. hanya selembar handuk berukuran panjang kira-kira satu rentangan tangan dan lebar yang cukup menutupi dada hingga setengah paha. Kuulangi untuk kali ketiga, sekarang lebih perlahan menelusuri selembar kain itu. Aha! Ini dia perbedaannya di antara handuk-handuk yang lain: label kecil tersemat di pinggir jahitan lebar handuk, ada tulisan berhuruf kapital dan berbunyi: “DEPARTEMEN SOSIAL R I”.
Seingatku handuk ini baru berumur kira-kira tiga tahun. Tak sampai sebulan setelah aku menikah, rumah kami dijadikan tempat api pesta pora, melahap segala yang kami punya, termasuk buku-buku, komputer, surat-surat berharga, juga pakaian yang kami punya. Aku sedang berada di luar kota kala itu, memperkenalkan diri pada orang-orang baru, keluarga suamiku. Secepatnya aku pulang begitu mendengar kabar buruk di waktu sahur bulan Ramadhan tiga tahun lalu itu. Lemas seluruh badanku menyaksikan segalanya gosong, hitam legam, seperti yang sering kusaksikan dalam berita di layar kaca. Hanya buku tulis berisi puisi-puisiku yang ditulis tangan sejumlah empat buku bisa selamat, itupun seperti aku menemukan harta paling berharga seumpama nyawa, terselip menempel pada lemari plastik, dengan pinggiran buku yang gosong.
Bapak kepala desa rupanya bersimpati mengajukan permohonan bantuan pada pemerintah. Dikiriminya kami mie instan, ikan kalengan, minyak sayur, perlengkapan mandi dan dua lembar handuk belang bertuliskan “Departemen Sosial R I”. Bapakku yang tak lama baru pulang dari rumah sakit sehabis menjalani kemoterapi untuk kanker paru-parunya sempat menolak secara halus, katanya tak perlu, kami nanti akan mengambil uang tabungan saja untuk membeli semua keperluan, atau meminjam pada saudara, lebih baik sumbangan itu diberikan pada yang jauh lebih memerlukan saja. Tidak! Bukan karena gengsi beliau yang dipandang sebagai orang yang cukup, toh kami tidak hidup bergelimang harta, tapi beliau masih merasa ada yang jauh lebih butuh dari kami. Tapi setelah aku dan ibu bilang itu kasih sayang bapak kepala desa dan tetangga kami, akhirnya bapak mau menerima sumbangan itu.
Tak lama setelah peristiwa kebakaran, tepat di hari kedua Idul Fitri, bapak meninggal. Menyisakan kepedihan dan kehilangan yang dalam di hati ibu dan aku, juga anak-anaknya yang lain. Mayatnya dimandikan dan diseka dengan salah satu handuk belang itu, yang kemudian handuknya dibakar. Kata ibu, biar tak perlu menangis jika melihat handuk itu lagi.
“Neng, handuk ibu sudah kering belum? Ibu mau mandi nih!”, teriak ibu dari lantai bawah.
“Sebentar Bu, ini sedang angkat jemuran yang lain juga, biar sekalian dibawa turun!”, jawabku sambil menyambar dua potong baju si kecil yang tersisa.
Aroma tempe goreng menyebar dari dapur, menggelitiki hidung dan membuat perutku beryanyi. Kutumpukkan pakaian kering itu di keranjang, tak perlu dilipat, toh aku akan segera menyetrikanya. Selembar handuk kusampirkan di bahu ibu.
“Ini, Bu, handuk tercintanya”, kugoda ibu sambil menyambar tempe di piring yang masih setengah panas.
“Terimakasih”, singkat jawab ibu, sambil mematikan kompor.
“Bu, Neng penasaran sekali, kenapa Ibu tidak bosan memakai handuk belang ini? Seratnya saja sudah kasar begitu, ibu bilang masih nyaman, aneh! Lagipula, Bu, cuma handuk bertuliskan departemen sosial R I begitu aja kok istimewa sekali?”, kuberondong ibu yang langsung duduk di kursi.
“Hhhh..baiklah”, berat nafas ibu. “Handuk itu lebih dari sekedar selembar kain. Kau tahu kan handuk itu hasil sumbangan ketika kita kena musibah kebakaran?”, aku mengangguk, ibu melanjutkan. Sepertinya agak berat, karena mendadak wajahnya mendung dengan mata berkaca-kaca. “Handuk sumbangan itu ada sepasang, satu dipakai bapakmu, satu dipakai ibu. Kedua handuk itu nyaris sama namun sesungguhnya berbeda sedikit. Milik ibu belang oranyenya lebih banyak, sementara punya bapak belang birunya yang lebih banyak. Handuk milik ibu dipakai mandi terakhir bapak, menemani bapak menyeka sisa air di tubuhnya. Dan handuk yang kau lihat ini adalah handuk bapak. Dengan handuk ini, ibu merasa ditemani bapak, merasa bapak tetap menjaga ibu, menemani ibu saat menyeka sisa air mandi, bahkan ibu kadang-kadang merasa dipeluk bapak. Handuk ini pun mengingatkan ibu bahwa kita pernah mengalami musibah kebakaran dan kehilangan harta benda, membuat ibu selalu bersyukur sama Gusti Allah karena masih diberi kesempatan hidup, menyadarkan ibu kalau harta dunia hanya titipan dan bisa diambil kapan saja. Handuk ini, bukan handuk sembarangan, Neng. Meskipun harganya kalah jauh dengan yang di supermarket itu, handuk ini benar-benar membuat ibu selalu eling, untuk tidak takabur dan mengingatkan ibu akan kasih sayang Gusti Allah pada bapakmu, pada ibu, juga pada kamu, Neng. Kasih sayang Allah dengan menjemput bapak lebih dulu, dan membiarkan kita berdua masih hidup untuk mendoakan bapakmu”.
Aku tergugu, air mata meleleh tanpa terasa “Aku kangen bapak, Bu..”
“Sama. Ibu juga. Ibu mandi dulu ya, habis itu kita sholat maghrib bersama, mengirimkan doa rindu buat bapak”, parau suara ibu menegarkan diri, kemudian berlalu menuju kamar mandi.
Cinta itu, Pak, ternyata demikian indah untukmu. Ibu mencintai Bapak lewat cara sederhana. Melalui selembar handuk ibu mengenangmu, lelaki terkasih yang membantunya kuat menjalani sisa hari-hari tanpamu, Pak.
***
https://ratnaayubudhiarti.files.wordpress.com/2012/12/capture.jpg?w=300″ width=”300″ height=”226″ />