Cerpen – Mencari Parmin

DOWNLOAD

Mencari Parmin

Cerpen Udiarti

 

Njoto membalik-balik lembar demi lembar. Sampai halaman terakhir. Bahkan indeks ia jelajahi satu persatu. Tak ketemu juga. Sampul depan dan belakang ia tatap terus menerus. Tak ketemu!

“Di mana si brengsek itu meletakan namanya sih?” Njoto mengumpat, sesekali meludah. Ia tutup buku itu. Tak berguna.

“Orang bodoh ini kenapa tidak menulis apa pun tentang dirinya? Goblok.” Njoto mengoceh lagi. Ia banting buku. Pergi.

Langkahnya kini santai. Setengah menyerah. Rokok di kantung celana ia ambil, sebatang ia hidupkan. Dihisap, dikebulkan, ke langit, tanpa batas ia memandang langit siang itu begitu busuk. Jakarta sungguh busuk, gemingnya. Hari sabtu, ini jadwalnya bercinta dengan Mariana. Ia sudah siapkan satu puisi untuk Mariana baca di depannya. Sebelum bercinta. Puisi Hendrik Marsman yang telah ia terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, masuk ke dalam saku kemeja. Oleh-oeleh untuk Mariana, Pelacur Kekasih.

Di atas motor yang melaju menyusur hal-hal yang tidak romantis di jalanan Ibu Kota, dengan rokok di bibir dan sesekali menggantung di celah jemari. Njoto terkenang suara itu lagi. Klenengan biadab! Suara gamelan yang muak di telinganya. Asu benar! Ia mengumpat dalam hati. Jauh-jauh ia menumpang hidup di Jakarta, minggat dari Surakarta hanya untuk meninggalkan suara-suara gamelan itu, tapi nada-nada pelog slendro  sudah menggantung di sisi gendang telinganya. Menyayat-nyayat sampai malam tiba. Sampai hening menemukan tubuhnya gemetar di ranjang sendirian. Sialan, ia teringat Sri.

“Modar sajalah Si Sri itu. Mengacau saja kerjaannya.” Gumam Njoto.

Di Surakarta, Njoto adalah seorang yang rajin mengintip kamar ganti penari Wayang Orang Sriwedari. Ada satu perempuan memabukan baginya. Sri namanya, Sri Maria kepanjangannya. Punya masa lalu busuk tentang orang tuanya. Terobsesi dengan gamelan Jawa yang hanya akan merdu ketika dimainkan bersamaan. Ayahnya abdi dalem Keraton. Berteman dekat dengan seseorang bernama Pontjopangrawit, ia legenda dalam dunia gamelan Jawa, ayah Sri tidak, hanya laki-laki abdi dalem Keraton biasa.

Njoto dan Sri berpacaran, setelah kemben Sri berhasil diplorotkan di dalam kamar mandi Sriwedari yang sempit dan gelap. Dikenyot buah dada itu dan Njoto mulai gila. Tapi Sri tak mau menyerah, ia menantang kekasihnya. Ayah Sri hilang setelah 65, tentu saja. Ayah Sri yang mengikuti jejak sang Legenda Pontjopangrawit, berjuang menentang Kolonialisme dan harus diasingkan di Tanah Merah Digul. Berhasil membantu Sang Legenda membuat seperangkat alat gamelan dari perkakas-perkakas dapur di Pengasingan. Lalu dikembalikan lagi di sisi keluarga masing-masing. Tapi mengikuti jejak Pontjopangrawit adalah sebuah pilihan hidup yang berani sekaligus bunuh diri. Turut serta dalam partai politik kiri, siapa lagi jika bukan PKI, membuat mereka di depak dari Keraton. Dipenjara, dan entah diperlakukan apa. Sri gamang, kisah Pontjopangrawit tertulis di buku sejarah, tapi ayahnya tidak. Sedang barangkali, tepat di tahun ayahnya menghilang, Sri lahir ditinggal mati Ibunya.

Njoto trenyuh, sedih, punya cita-cita untuk menemukan nama Ayah Sri di buku sejarah Gamelan di Indonesia, seperti tantangan Sri untuknya. Tapi tak ketemu! Dia mondar mandir di Radya Pustaka Sala dan perpustakaan daerah. Tak ketemu juga! Ia marah. Sri Maria tak mau ketemu Njoto lagi, ia baru mau ketemu jika sejarah ayahnya yang bernama Parmin ini diketemukan dalam buku sejarah gamelan di Indonesia. Njoto yang malang.

Setiap mendengar suara gamelan yang sialnya dia tinggal di daerah Kemlayan, tempat yang sering digunakan untuk latihan karawitan. Telinganya mengingat desah mungil dari bibir Sri. Dan candunya itu makin membunuhnya. Orang-orang yang tak mengerti tentang gamelan, mendengar suaranya di malam hari akan merasa takut, mrinding dan dihubungkan dengan klenik, mistis atau lebih parahnya santet. Tapi Njoto tidak, mendengar suara gamelan berarti membangkitkan berahi seksualnya, ingin bercinta, ingin menuntaskan hasrat kemanusiaannya. Tapi dengan Sri, sialnya Sri tak mau lagi. Njoto pun minggat ke Jakarta, melamar sebagai wartawan harian di salah satu media massa Ibu Kota. Bolak balik mencari berita, yang ia dapat melulu politik simpang siur. Ia bosan.

Lantas bertemu dengan Mariana bergaun biru di rumah makan China. Berkenalan mereka, jatuh cinta Njoto pada tubuhnya, bergumul mereka di kasur indekos Mariana. Dan Njoto, agar terlihat keren, menyuruh Mariana membaca puisi sebelum mereka bercinta. Sungguh surga baginya. Tapi sial selalu merenggut kesunyian bercintanya yang agung. Ia dipindahkan untuk meliput berita-berita budaya, harus bolak-balik ke TMII dan mendengar suara menyebalkan yang sungguh ia kutuk sedari dulu. Macam Sri mengikuti dan mengingatkan janjinya sampai mati.

Mendadak ia ingin jadi pengikut Pontjopangrawit saja. Memusuhi Belanda dan jadi gundik Komunis di Indonesia. Ditangkap lalu dibunuh, ia akan menulis dulu hari-harinya sebelum peluru melobangi kepalanya. Tak perlu ia ketemu Sri dan ketakutan pada bunyi Gamelan Jawa.

Ia selalu bangkit pada siang-siangnya di tengah luang mencari berita. Ke perpustakaan mana pun di Jakarta. Mengobrak abrik segala buku tentang Gamelan dan mencari nama Parmin. Tak pernah ketemu, hanya nama Pontjopangrawit yang disebut dengan perjuangannya yang akhirnya dibunuh militer orba, beruntung seperangkat gamelan buatannya yang ditinggal di Digul diboyong semua ke Archive of the School of Music di Australi sana. Sebuah kebanggaan bangsa Indonesia, sayang, penciptanya dibunuh sendiri oleh bangsanya sendiri. Ya makhlum-makhlum saja, toh sejarah diciptakan pula bukan untuk mencatat kebenaran, tapi untuk kepentingan masa depan suatu kelompok.

Njoto tak habis pikir kenapa mantan kekasihnya Sri, begitu yakin ayahnya akan tertulis di buku sejarah, membawa gamelan dan namanya dipuja-puja. Nyatanya tidak, tak ditemukan satu pun arsip tentang Parmin. Sri bercerita, Parmin bertugas memegang kendali pada kempul. Sambil menutup mata saja Parmin bisa membunyikan kempulnya dengan benar. Lalu Njoto nyaris tersedak ketika ia tahu bagaimana cara memainkan alat musik kempul. Dipukul sesekali namun dinamis pada jalur nadanya, mleset sekali jadi rancu! Tapi, dengan cara macam itu, memang pemegang kempul selalu bisa memainkannya dengan cara menutup mata. Karena yang dibutuhkan adalah kepekaan telinga untuk mengikuti susunan nada. Mata tak perlu repot melongok-longok pada kertas nada. Apa menariknya?

Tapi seandainya, pemain kempul tak ada, kumpulan instrumen lainnya tak bisa didengar lengkap. Tetap rancu! Ahh tidak tahu! Njoto mengumpat lagi. Perjalanannya menuju Mariana terasa lebih jauh. Ditambah kepalanya pusing mendengar suara gamelan. Njoto berhenti sebentar di tepi jalan. Ia mengambil kertas yang bertuliskan puisi Hendrik Marsman oleh-oleh untuk Mariana. Ia baca sebentar.

Pelayaran

Kapal sepi dan hitam

Berlayar di malam larut

Lintas gelap, hebat dan geram

Menyongsong maut, maut

“Barangkali Parmin dan Pontjopangrawit merasakan apa yang ditulis Marsman. Gila benar, mau-maunya menyongsong maut.” Katanya setelah membaca satu bait.

Aku jauh di lambung, mengerang

Kelu dan ngeri dan sepi

Dan kutangisi daratan cerah

Yang tenggelam di kaki langit

Dan kutangisi daratan gelap

Yang timbul di kaki langit

“Juga mereka berdua tengah menangisi negara ini. Malang kalian berdua. Bahkan embel-embel abdi dalem keraton saja tak bisa melindungi nyawa kalian. Semua eks tapol Digul diciduk dan dijebloskan ke penjara dengan tuduhan masih setia pada komunis. Ya ya.” Njoto bersungut, melipat kertas itu dan memasukan kembali ke dalam saku kemeja. Melaju lagi menuju Mariana.

“Ahh kenapa aku bisa gila begini.” Njoto makin kesal.

Ia teringat bagaimana Sri bercerita tentang keadaan jiwa Parmin ketika dipenjara di Digul. Sebal, takut, marah dan sedih menyatu. Tak tahu harus dilimpahkan ke siapa. Sedang istri tercintanya masih di Sala, mengandung buah hati darinya. Tapi Sri tak pernah tahu bagaimana keadaan jiwa Parmin ketika diboyong oleh pemberantas PKI di tahun 65. Mungkin Parmin sudah siap. Tapi mungkin juga tak trima, ia adalah seniman, ia punya tugas. Tugas seniman adalah menyusun apa yang sudah ada dari Tuhan untuk jadi sesuatu hal yang indah dan dapat dinikmati manusia. Jadilah nada-nada yang mengalun dari gamelan terutama kempul yang ia kendalikan.

Njoto akhirnya sampai di indekos Mariana. Ia benahi kemeja lengan pendeknya. Warna biru tua juga kali ini. Rokoknya ia ambil, merokok dululah ia sebelum menemui Mariana di dalam kamar. Satu batang selesai. Anjing, umpatnya. Suara gamelan, kali ini ia hapal. Ini adalah nada-nada yang mengiringi tari Gambyong. Sialnya suara itu berasal dari kamar yang ia kenali. Kamar Mariana, yang di depan pintunya ada sebuah tempelan kertas bertuliskan “Mampus kau dikoyak-koyak sepi!”. Salah satu kalimat dari puisi Chairil Anwar kesukaan Njoto. Tak berani ia mendekat ke pintu itu. Takut menerima kenyataan bahwa suara gamelan itu memang berasal dari kamar Pelacur Kekasihnya.

Njoto mengambil rokok lagi, yang kedua, merokok dengan kepanikan. Matanya berputar-putar mengintai sekitar. Berjaga adakah yang aneh dalam pemandangan sekitar kamar Mariana. Tak ada, hanya ada pot bunga sedap malam kesukaan Mariana. Ia harus tahu apa yang ada di dalam kamar itu. Ia harus memaksakan diri untuk mengetuk pintu. Pintu diketuk. Dua kali, tiga kali, empat kali. Tak ada yang beranjak. Suara gamelan masih terdengar dari kamar Mariana. Njoto makin panik. Ia berusaha tenang. Ia sadar, pintu kamar itu tidak dikunci di hari sabtu. Agar Njoto selalu bisa masuk tanpa menunggu. Aneh juga kenapa ia harus mengetuk dulu sore itu.

Dibuka pintu kamar itu. Tak bergerak. Njoto jadi patung. Gending Pareanom masih mengalun dari dalam kamar. Mariana dilihatnya. Pulas, lengkap dengan gaun biru tua. Dengan gincu merah merona tebal kesukaannya, sebentar kemudian kejantanannya naik. Melihat bagian bawah gaun Mariana yang tersingkap dan paha putih terpancar di sana. Tapi kemudian ia lunglai. Sosok lain di samping Mariana, sedang berbisik di telinga Pelacur Kekasihnya itu. Njoto menahan nafas. Gending hampir menuju pada bagian mundur beksan, terakhir. Njoto pun ingin mundur, tapi sosok di depannya membuatnya jadi patung. Sihir.

Perempuan, gaun cokelat tua dan rambut bergelung. Berbisik pada Marianan.

“Tidurlah. Ini akan jadi malam yang indah dan tak perlu kau bacakan puisi. Kau dengar saja gending dari gamelan ini. Tugasmu sudah cukup, aku akan membawa Njoto kembali.” Kata gadis itu. Njoto diam. Tak berani berargumen. Tak berani menyuruh membaca puisi. Tak berani mengumpat pada suara gamelan. Setelah ia lihat, Sri tengah memegang ganggang pisau buah milik Mariana, sedang ujung yang lain menancap lembut di dada Mariana. Gending Pareanom yang sebenarnya membahagiakan itu selesai dan berubah jadi malapetaka. “Waktumu telah habis Njoto. Kau tak bisa menemukan sejarah Ayahku dengan tepat waktu.”

 

Udiarti, lahir di Gunung Kidul, besar di Karanganyar, saat ini tengah menumpang hidup di Jakarta.

 

 

Bagikan Postingan ini

Leave a Comment