Cerpen – Pertemuan Sore Ini

Astuti Parengkuh

 

Ini pertama kali aku bertemu dengan Yan sejak setahun lalu. Lewat pesan terakhir yang dikirim, dia ingin kami bertemu di sebuah tempat nongkrong yang terletak di pusat kota. Wedangan Pendapa namanya. Tempat seperti paseban dengan arsitektur dan interior antik primitif. Kupersiapkan di dalam tasku ; tusuk gigi dan pepper spray. Aku merasa seperti hendak  bertemu dengan seorang pesakitan. Semacam psikopat, mungkin. Demikian lara hati ini sulit dihapus. Dia menancap kuat di setiap helai ingatan.

Wedangan Pendapa masih sunyi tatkala aku masuk di dalamnya. Sebuah angkring terpajang di sudut ruangan besar. Lengkap dengan sesaji beraneka macam makanan. Deretan kursi antik bermotif sedan diatur sepasang-sepasang. Beberapa resban etnik primitif sempat mencuri penglihatanku. Ada juga resban modifikasi seperti ambin jengki namun memiliki sandaran. Kupilih yang lebar, tentu sangatlah cukup jika buat kaki selonjoran.

“Hai, apa kabar?”sapa Yan memulai perbincangan kami.  Kulihat dia mengenakan kemeja bermotif kotak perpaduan cokelat susu dan kopi sepadu dengan warna celana jinsnya. Lelaki pemilik mata rajawali dengan postur tubuh seperti tokoh wayang Setyaki ini sedikit berubah. Dahinya tampak lebih lebar ketika rambut di bagian depannya semakin terkikis..

Yan, ternyata waktu berlalu begitu cepat seakan aku tak melihatmu berabad-abad.

“Kabar baik, tentu seperti harapanmu,” kuulurkan tanganku. Yan menyambutku. Bibirnya tak mengembang. Dia sosok yang sulit tersenyum, namun wajah dinginnya pernah membuatku terkagum sejak aku mengenal laki-laki ini puluhan tahun lalu. Yan memesan kopi hitam kesukaannya. Aku memilih cokelat jahe. Kulihat dia berjalan menuju angkring dan balik ke arahku dengan dua piring aluminium kecil yang berisi wewarna penganan seperti jadah bakar, ongol-ongol serta risoles mayones.

“Kau masih hapal makanan kesukaanku,” aku menarik napas panjang. Kujumput risoles mayones dengan selembar kertas tisu. Ingatanku langsung menembus masa lalu, saat malam-malam dia selalu membawakanku oleh-oleh setiap pulang habis bepergian ke luar kota untuk urusan pekerjaan.

“Bagaimana dengan tawaranku?” Yan memulai pembicaraan serius. Padahal aku pikir dia akan bercerita tentang keadaaannya sekarang. Tentang bisnis atau keluarganya, mungkin. Ah, laki-laki ini dari dulu tak berubah, suka menggenggam waktu. Watak kesatria sejati. Tertutup untuk hal-hal yang sifatnya pribadi dan memilih lebih menghargai setiap detik waktu yang berjalan.

“Kau tahu saja jika aku masih menyimpan aset-asetku. Aku sudah punya rencana semacam plan, Yan. Kita akan membuka kafe semacam ini. Di daerah pinggiran kota. Lengkap dengan cottage dan Spa. Gimana?” kataku sambil mengeluarkan kertas kerja. Dia tahu aku mempunyai beberapa barang dagangan seperti joglo kecil serta mebel-mebel antik yang kusimpan di dalam sebuah gudang. Kami pernah membangun bersama bisnis perdagangan mebel.

Belum lagi dia menjawab pertanyaanku, dering ponselnya mengganggu percakapan kami. Yan beranjak sebentar kemudian kembali ke resban. Beberapa pengunjung mulai berdatangan. Di antara mereka ada yang membawa kamera serta bertas ransel. Kupikir mereka sekelompok mahasiswa. Atau gerombolan remaja hippies yang hobinya memamerkan kekayaan orangtuanya. Ternyata aku salah duga.

Setelah seorang di antaranya menyapaku, baru aku sadar mereka rombongan wartawan.

“Bu Siska!” kudengar ada yang menyebut namaku. Yan memunggungi mereka.

“Kau pun tahu, aku masih punya aset tanah yang bisa kujadikan modal bersama. Kita akan perlakukan usaha ini murni bisnis, tanpa embel-embel lainnya. Artinya kita akan seriusi ini. Nanti aku akan serahkan kepada orang kantor untuk mengurusi pemberkasannya,” kata Yan tegas.

“Aku serahkan bisnis ini kepada Ratri. Semuanya dia nanti yang akan urus dari A sampai Z,”kusebut nama anak sulungku yang telah menamatkan SMA. Yan sedikit terperangah. Kuacuhkan dia. Aku lebih tertarik untuk menikmati suara musik yang keluar dari corong-corong tersembunyi di balik instrumen-instrumen hiasan dinding yang menyatu dengan gebyok. Bowo Sidoasih melangutkan jiwa.

            “Pamintaku/nimas sido asih/atut runtut/tansah reruntungan/Ing sarino sakwengine/datan ginggang sarambut/lamun adoh caketing ati/yen cedhak tansah mulat/sido asih tuhu….”

            Kau tahu Yan, setiap kali aku mendengar tembang ini hatiku serasa diiris-iris. Entah rasa apa lagi yang kini tengah berkecamuk di dalam dadaku. Aku tak bisa melukiskan dengan imaji apa pun. Tak juga bisa mampu merasai yang dulu pernah menyelimuti hari-hariku, hari-hari kita. Namun, saat ini aku laksana tengah memamah rasa hambar, sehambar sesapan sepah tebu pada hitungan kesekian ratus. Aku mati rasa.

            Yan menundukkan kepala seraya mulutnya mengepulkan asap nikotin.

Aku memilih minggir.

***

Setahun lalu

“Ibu terpaksa memilih jalan ini,” kataku pada Ratri anak sulungku.

“Pasti akan lebih baik,” Ratri memelukku erat. “tanpa pengacara?”tanyanya cepat.

Kugelengkan kepala. Sejak beberapa tahun lalu sebenarnya dia sudah menyarankan tindakan ini, tapi tak pernah kugubris. Kupikir aku bisa terus menjalaninya namun urat kesabaranku akhirnya putus.

“Dengan visum dokter sebagai alat bukti? Dan foto-foto itu?” Ratri mengejarku.

Kembali kugelengkan kepala. “Tidak! Bagaimana pun dia bapakmu.”

Kukemasi lagi berkas-berkas yang telah kukopi dan kupelajari untuk sidang kedua  besok, “Kamu temani Ibu.”kataku menutup perbincangan kami.

“Jika boleh memilih, Ibu ingin persidangan nanti putusannya verstek.”

Ratri tersenyum ke arahku,”Ibu yang kuat ya.”

Aku membalas dengan membawakannya semangkuk sup galantine yang masih mengepul di atas meja makan. “Kamu memang anak baik dan pastinya kuat seperti ibumu.”

“Kekerasan itu bahaya laten, Ibu. Dia bisa muncul secara tiba-tiba. Laki-laki itu telah menduakan Ibu dan sejak itu pula perangainya berubah. Dan aku nggak suka” Segera kutempelkan telunjuk jariku ke bibir, “Psssttt….Sebutlah dia bapakmu,”  Ratri berbicara layaknya aktifis perempuan yang sedang naik podium. Dia perpaduan sifat keras bapaknya dan kelembutan yang dimiliki oleh seorang Dewi Sumbadra.

***

“Bagaimana kuliahmu, Sis? Lancar?” Yan tahu aku belum lulus pasca sarjana yang kuimpikan sejak muda.

“Lancar, Alhamdulillah. Bagaimana keluargamu? Kau masih suka….”aku tak meneruskan bicara. “Mendengkur kalau tidur? Hahaha…”Kudengar suara kerasnya membahana di seantero ruangan terbuka yang mirip dengan teras ini.

“Dan bangun selalu kesiangan,”kataku sambil cekikikan seperti remaja usia belasan.

“Kau masih suka memasak sendiri daging kambing dan berkhayal mempunyai sebuah resto satay kambing?”Suara Yan menekan seperti pemain teater yang sedang menguasai panggung.

“Aku masih suka telat mandi dan berlama-lama bermain di kolam ikan belakang rumah sambil sesekali memanen cabe yang berwarna-warni. Aku juga masih gemar mengecat rambutku dengan pilihan warna ungu seperti kesukaanku,” kataku sambil nyerocos ceceriwisan.

“Kamu masih suka mengoleksi linge…”Yan tak meneruskan bicaranya.

“Istrimu sudah hamil?”tanyaku mengagetkannya.

“Kami belum menikah. Menikah resmi maksudku,”jawabnya datar.

“Oh!”

Suara alunan musik kini tengah mengantar lagu Chrisye, Pergilah Kasih. Dua orang menyempal dari rombongan wartawan yang beberapa puluh menit lalu menyapaku tampak mendekat kepada kami. Seorang pemuda berbadan tegap dan atletis serta sesosok perempuan berwajah manis dengan rambut tergerai di punggung.Pemuda itu menenteng tustel serta sebuah ponsel tergenggam, sedang si perempuan asyik membuka-buka ponselnya. Sepertinya mereka telah mengenali wajah Yan yang sejak tadi tersembunyi.

“Wah, seperti mengenang kembali saat-saat pacaran ya, Pak Yan dan Bu Siska ini,”gurauan mereka membuat lidahku ngilu. Kutebarkan senyum bagai seorang ratu, sekadar membuat dua muda-mudi itu senang.

“Boleh saya meminta waktu untuk wawancara kepada Bapak?” tanya salah seorang di antaranya.

‘Tentang apa nih? Usaha, keluarga atau…?”Yan membunuh puntung rokok yang tersisa.

“Tentu terkait dengan pencalonan Pak Biyantoro sebagai anggota legislatif. Gimana Bapak Yan yang terhormat?”

“Oh! Boleh, boleh silakan. Mumpung kalian bertemu kami di sini,”Yan melirik ke arahku. Matanya sedikit mengerdip. Aku sangat paham maksudnya. Biyantoro yang sering aku panggil dengan sebutan ‘Yan’ adalah mantan suamiku. Pria itu menikahiku sesaat setelah aku lulus SMA. Setahun kemudian lahirlah Ratri.

Aku tahu jika perceraian di antara kami, tak ada seorang kuli tinta pun yang mampu mengendus karena kututup sangat rapi. Yan telah mendesakku bahwa urusan pribadi terutama keluarga tak akan membuatnya pantang mundur untuk pencalonan anggota dewan kota tahun ini. Juga soal perselingkuhannya yang berhasil kukuak. Serta perilaku kasarnya terhadapku dan anak-anak.

Sebagai seorang pengusaha ternama di kota ini, cukup pegawai administratif yang berkepentingan saja yang mengetahui jika statusnya adalah duda. Dan kupikir, aku telah bebas sekarang dan tak turut menanggung dosa. Biarlah waktu yang akan berbicara nanti.

Yang tak aku mengerti adalah, tiba-tiba tembang Bowo Sidoasih kembali mengalun. Tepat satu jam sudah aku duduk di tempat ini. Kulirik pepper spray di dalam tasku. Benda itu tetap akan aku biarkan tinggal di sana, selama aku masih berbincang  bisnis dengan Yan. Ya, meski sebatas bisnis. (*)

 

*)Astuti Parengkuh. Nama pena yang pernah digunakan adalah Astuti J. Syahban. Tertulis di KTP dengan nama : Puji Astuti. Seorang cerpenis, novelis, esais, resensor dan jurnalis yang lebih suka disebut sebagai ibu rumah tangga. Mengaku aktif di beberapa komunitas nonprofit. Tinggal bersama kedua anaknya di Semanggi RT 05 RW XI Jl. Bengawan Solo 4 No.12 Solo-Jateng 57117. Bisa dihubungi via e-mail ; astutijsyahban@yahoo.com

 

 

DOWNLOAD

————————————————————————————————————————————————————————————————————-

 

Bagikan Postingan ini

Leave a Comment