Cerpen – Yap Poh Yuen

DOWNLOAD

Yap Poh Yuen
Liston Siregar

”Kenapa… Kau mau perkosa mereka ya!” bentaknya. Mukaku memerah, bengong, tersenyum kagok. Ia tidak perduli. ”Aku tahu orang Medan dan Bandung bermusuhan. Aku tahu.” Ia tutup buku tamu besar di hadapannya, menghidupkan rokok dan, ”ini koreknya, gratis.”

Aku memang mau minta korek api. Tapi dia sedang bicara dengan dua perempuan muda berbahasa Indonesia. Aku tertib menunggu giliran sambil menguping. Si tua galak itu tahu aku orang Indonsia tapi tidak mengenalkan kedua tamu barunya. Salah seorang perempuan melirikku ke belakang. ”Bayarnya nanti saja ya Om, karena mami baru datang besok,” kata yang satu lagi, bercelana jins dan oblong kuning ketat. Ketika meninggalkan counter, keduanya tersenyum ke arahku, genit.

”Boleh saya pinjam korek,” tanyaku pelan. ”Tunggu,” katanya tegas sambil mencatat di buku besar berjalur lima. Nah sambil menunggu, aku iseng menanyakan kedua perempuan tadi. Perempuan Indonesia yang datang ke Singapura jadi penghibur bukan cerita baru, apalagi ada kata mami. Keluarga apa pula yang punya dua putri sebaya yang sama sekali tidak mirip, dan menginap di satu hotel murahan di Singapura. Makanya, iseng-iseng, aku tanya nomor kamar mereka. Dan, itu tadi, ia membentakku.

Jadi itu logikanya; laki-laki Medan memperkosa perempuan Bandung. Entah darimana dia bisa punya logika seperti itu entahlah.

Aku hidupkan rokok di bawah sorot matanya. ”Darimana kau tahu itu,” tanyaku pura-pura setuju saja dengan pendapatnya bahwa orang Medan dan Bandung bermusuhan. Setelah menghembuskan asap rokok, ia simpan buku tamu, meletakkan pulpen hitam besar dalam kotak di ujung meja, dan mendekatkan asbak ke hadapanku. ”Aku pernah tinggal di Indonesia,” katanya. Ada nada bangga di suaranya.

”Oh ya, dimana?”

Dan pertanyaan itu memancing cerita panjang. Yap Poh Yuen mengaku pernah bekerja di kapal yang berkeliling Australia dan Indonesia. Ia pernah singgah di Surabaya, Medan, Jakarta, Semarang, Makassar, Ambon, dan Manado. Bahkan punya istri dan dua anak di Makassar. ”Tahun lalu mereka datang ke sini. Tidur di Hotel Mandarin. Tahu siapa yang bayar… Aku bayar semuanya,” katanya tertawa besar.

Barisan giginya dipenuhi warna coklat gelap sisa nikotin. ”Tak apa, aku sayang mereka,” tambahnya pelan sambil menyedot rokok dalam-dalam. Aku amati garis-garis keriput yang memenuhi wajahnya, mengapit hidung, berbaris empat memanjang di kening, mengelilingi bibir yang hitam, keluar dari ujung-ujung mata sampai ke telinga.

Ada diam, dan itu sebenarnya saat tepat untuk kembali ke kamar. Tapi, tak ada salahnya menemani seorang tua yang akan kesepian sepanjang malam ini. Aku putuskan menunda catatan perjalanan hari itu; catatan ketertiban dan kebersihan Singapura yang mekanis. Gedung-gedung tinggi yang angkuh, kereta bawah tanah yang melesat kaku, orang-orang dingin yang berlalu-lalang, serta senyum penjaga toko yang palsu.

Kosong, kering, mati. Si tua di depanku ini mungkin bisa jadi warna. Warna yang bernafas, hidup, basah.

”Sudah berapa tahun bapak kerja di hotel ini,” kataku pelan, sedikit lebih hormat, setelah ia sepertinya membiarkan aku berpikir sebelum memutuskan untuk melanjutkan pembicaraan. ”Ini hotelku,” katanya singkat. ”Kau tak percaya ya,” sambungnya tertawa. Ia buka laci coklat tua yang berat, dan diambilnya sebuah foto berlapis plastik dari bawah buku tamu yang tebal tadi. Dua orang berangkulan, tertawa besar, di bawah papan besar ‘Tionghoa Hotel’. ”Ini aku dengan kawanku. Kami berdua pemiliknya.”

Kuduga gambar itu sekitar tahun 1980-an. Hotel tua dengan pintu dan jendela yang lebar dan tinggi ini tampak indah. Deretan lampu warna-warni menghiasi tulisan Tionghoa Hotel, dengan beberapa rangkaian bunga di pintu masuk. Kini Hotel Tionghoa sudah bisa jadi objek penelitian sejarah perencanaan kota Singapura. Cat dinding berwarna putih dan krem sudah banyak yang terkelupas, tiap kamar hanya dilengkapi dengan gembok kecil, wastafel yang sudah menguning, dan cermin retak dengan keempat ujung besi yang berkarat.

Tinggal kebersihan yang masih tersisa. Seprei dan sarung bantal putih yang lurus dengan sisa-sisa bau deterjen, meja dan kursi kayu coklat tua berat yang terawat, lantai yang tidak berdebu dengan keranjang sampah plastik merah di pojok. Hotel bertarif dua puluh dolar Singapura ini cukup layak direkomendasikan pada pelancong miskin, seperti aku, atau wanita penghibur yang menunggu pos penempatan, seperti dua wanita tadi.

”Tahun 1964 aku berhenti kerja di kapal. Finish!” katanya keras menghentikan lamunanku. ”Aku dulu kapten kapal, kapten penuh…,” Aku angkat hidungku sedikit. Biasanya kapten kapal tinggi, kekar, bergaya elegan, tapi si tua Yap paling satu meter enampuluh senti, kasar dan sembarangan. ”Kau pasti tidak percaya,” katanya, lagi-lagi menghentak. ”Kapalku Evergreen, 40.000 ton. Itu bukan kapal main-main.”

”Tapi aku sudah selesai. Finish!.” bentaknya sambil mengibaskan silang kedua tangannya. ”Topan besar itu memang gila. Tingginya dua puluh meter. Oh kau tidak akan pernah tahu itu. Jangankan kau, anak kemarin sore, kapten-kapten kapal lain saja banyak yang belum pernah melihatnya. Tapi aku menghadapinya langsung di Lautan Pasifik, dan selamat.”

Disedotnya lagi rokoknya. Kuku jari tengah dan telunjuknya sudah menguning terpanggang asap rokok dan terbilas sisa nikotin. ”Waktu itu aku sudah pasrah. Kami masuk ke bawahnya. Untung hanya satu, kalau disusul gelombang lain, mati semua!” tambahnya. ”Sampai pelabuhan aku langsung minta berhenti.” 

“Mestinya kau bisa pasang harga tinggi…,” kataku spontan menimpali.
”Apa? Kau kira aku gila. Cukup satu kali. Bossku minta aku tetap kerja. Aku bilang tidak. Aku punya dua istri, lima orang anak.” 
Cepat kupotong, ”lantas kenapa dulu mau jadi pelaut?”
”Oh ya, kau, apa kerjamu, apa coba,” tanyanya sambil melototkan matanya. ”Apa kerjamu, kasih tahu aku,” desaknya tidak sabar. Ogah-ogahan aku jawab pelan.
”Oh ternyata kau wartawan. Wartawan gila!,” katanya melengos, membuang pandangan ke samping.

Kaget campur bengong, aku cuma bisa mengerutkan dahi.
”Kau wartawan yang belum pernah ke medan perang. Sekali kau ke sana kau baru tahu kematian dekat sekali, tak berjarak. Dor…dor…dor…,” ia menembakku dengan tangan kirinya, ”mati kau, dan anakmu makan apa?”

Belum sempat aku membantah, ia sudah nyerocos lagi, ”aku tahu kau belum kawin, makanya matamu hijau melihat perempuan! Aku juga tahu kau belum pernah bertugas ke medan perang,” suaranya memelan. 

Tapi aku memilih jadi wartawan untuk menembus batas-batas geografi dan budaya. Aku wartawan yang punya mimpi; satu hari kelak berada di tengah desing peluru, mencium bau mesiu, terciprat darah segar. Itu heroisme wartawan, sekaligus romantisme. ”Dan sejak awal aku siap untuk itu. Jadi mestinya seorang pelaut siap untuk gelombang besar, kalau memang ia pelaut sejati,” kataku meninggi sambil menjentikkan abu rokok.

”Dua puluh meter! Pelaut sejati macam apa yang kau maksud. Mungkin aku satu-satunya kapten yang pernah mengalaminya. Ah sudahlah, kau tahu apa.”

Ya, sudahlah. Aku putuskan tidak memperpanjang lagi. Ini soal persepsi, dan siapa yang bisa menjembatani persepsi antar generasi. Yang satu merasa lebih tahu, dan yang satunya tidak merasa kurang tahu. Soal klasik yang tidak akan pernah selesai. Jadi, sudahlah.

Tapi ia membaca isi otakku.

”Kau wartawan, kau bercita-cita berkeliling dunia, bercita-cita bertugas di medan perang. Setelah dua puluh tahun jadi wartawan, bom meledak di sampingmu. Kau selamat. Dan besok kau datang ke tempat yang sama, menunggu bom lagi? Menunggu mukjizat lagi? Omong kosong! Mukjizat hanya datang satu kali. Yang kedua, jatuhnya pasti di atas kepalamu. Bam,” kedua tangannya bergerak ke atas membentuk pecahan bom.

Ia matikan rokok yang sudah tinggal filter ke asbak kaleng di depannya. ”Mampus kau!”

Aku diam. Jangan terperangkap ke soal klasik jurang generasi.

”Coba tebak umurku berapa,” tanyanya. Ada sedikit rasa lega terlepas dari debat yang tak bakal usai itu. Aku perhatikan ia pelan-pelan, mencoba membuat taksiran terbaik. Wajahnya ia sorongkan ke arahku, menantang.

Baiklah. Aku amati garis-garis keriput di wajahnya, mengapit hidung, berbaris empat memanjang di kening, mengelilingi bibir yang hitam, keluar dari ujung-ujung mata sampai ke kedua telinga. ‘’Enam puluh awal,” kataku mantap.

”Enam puluh? Kau memang wartawan gila!. Bulan depan, tanggal 18 ulang-tahunku yang ke lima puluh tujuh. Wartawan gila. Bagaimana kau bisa jadi wartawan kalau menebak umur saja salah.”

”Tapi kau kelihatan lebih tua. Mungkin dulu kau suka mabuk, suka main perempuan,” kataku membela diri, karena ia memang tampak lebih tua dari usianya.

”Hahahaha,” tawanya meledak bebas sampai aku mengerutkan tubuh untuk meredam tawa itu agar tidak membangunkan seluruh tamu hotelnya. ”Aku punya dua istri memang, tapi istri! Aku kawini mereka resmi di catatan sipil. Mabuk… satu tetes alkoholpun tak pernah lewat kerongkonganku. Sumpah! Kau tidak percaya kan… Sudahlah, anak muda sekarang selalu punya alasan.”

Ya, sudahlah, akupun tidak tahu mau bilang apa lagi. Ia sepertinya sadar dan mengalihkan ke cerita lain, dengan suara yang hampir berbisik.

”Tahun lalu anakku minta dibelikan taksi. Aku beli. Sekarang dia mau jual taksi itu. Katanya turis sudah tidak banyak lagi karena barang-barang di Singapura terlalu mahal, pemerintah salah karena memasang pajak terlalu tinggi, harga bensin naik. Terlalu banyak alasan. Ya… itu cuma alasan. Kenapa supir taksi yang lain masih ada? Kau lihat ke luar sana, ada berapa ribu taksi. Terlalu banyak alasan. Itulah kalian.”

Aku makin tidak tahu mau bilang apa. Ada kekecewaan di suaranya, yang membuatku justru enggan memutus obrolan untuk kembali ke kamar. ”Yang satu lagi minta uang untuk sekolah di Universitas Nasional Singapura. Hebat. Sekarang jadi salesman. Tidak ada lagi cerita sekolah. Kalau aku tanya, dia punya sejuta alasan. Padahal dulu, tiap detik hanya buku tebal-tebal saja yang aku dengar. Sudahlah.

Yang perempuan, kau tahu, kawin sama orang Amerika. Aku sudah ingatkan, tapi dia rupanya lebih tahu. Cinta, katanya. Sekarang, mau apa? Si Amerika sudah pulang ke Amerika sana. Anakku bilang tidak mau hidup di Amerika, cuacanya lain, budayanya lain. Omong kosong! Itu cuma alasan, aku tahu dia ditinggal si Amerika. Untung aku sayang cucuku…”

Aku diam dan sedikit kagok ”Kalau yang di Makassar aku tidak tahu, Tiap bulan aku kirim uang, selesai. Itu bukan salahku. Dulu aku ajak mereka pindah, istriku yang di sini sudah setuju, tapi istriku yang di sana yang tidak mau,” katanya dengan mata yang menerawang jauh. Ia ambil rokok yang baru. Aku lihat matanya, penuh, jatuh ke dalam, dalam sekali.

”Sekarang aku tak mau pusing. Mau jual taksi terserah, mau jadi salesman bagus, mau kawin sama orang Inggris, Jerman, Yahudi, atau Afrika pun silahkan. Dia mau ambi cucuku, boleh saja. Anak muda selalu mau menang sendiri, kami ini cuma orang bodoh,” katanya dengan mata yang kembali menantang. Aku biarkan tantangan itu. Sorot matanya tampak lelah, tapi terasa menusuk tajam.

”Singapura ini sudah terlalu maju untukku. Aku masih ingat lima puluh tahun lalu Lee Kuan Yew datang ke pelabuhan. Kami semua bersorak-sorai, mengepalkan tangan mendukung dia. Belakangan dia lupa semuanya, tak perlu lagi dengar suara orang lain. Yang penting bangun, bangun. bangun. Sekarang anaknya makin kacau cuma senang-senang jadi bos.” Ia sedot rokoknya dalam-dalam, ia hembuskan, dan ia pandangi asap yang melayang ke atas, hilang.

”Hotel ini sudah kami jual. Pemerintah mau membangun. Tahun depan roboh semuanya. Aku suka hotel ini, tapi mau apa.” Hening, sepi. “Aku tahu hotel ini pasti sudah dijual kembali sama konglomerat dengan harga yang lebih tinggi. Paling kami dapat setengah, tapi harus dijual. Jual saja.” Ada nada kemenangan, bukan pasrah. Kemenangan yang sulit dipahami.

”Lantas apa yang bapak kerjakan?” tanyaku lembut, hormat, dan hati-hati.

”Apa yang mau kukerjakan? Finish! Aku tidak mau kerja apapun lagi! Aku dan istriku mau ke Kanada. Kami punya rumah di sana, rumah yang berhalaman.” jawabnya tersenyum, dan mata itu, lagi-lagi menerawang jauh.”Singapura bukan tempat kami lagi,” tambahnya.

Diam kembali mengambang di antara kami berdua. Dan itu kesempatan untuk menikmati garis-garis keriput di wajahnya, mengapit hidung, berbaris empat memanjang di kening, mengelilingi bibir yang hitam, keluar dari ujung-ujung mata sampai ke kedua telinga. Aku nikmati oblong putihnya, ujung-ujung benang yang terlepas di bagian leher, dan dua sobekan kecil di lengan kiri.

”Sudahlah,” katanya menepuk meja dengan keras. Aku tersentak.

”Kau harus istirahat. Besok kau harus melihat Singapura dari ujung ke ujung. Singapura yang maju. Semua kemajuan ada di sini, kau harus melihatnya supaya tidak ketinggalan. Tidurlah,” katanya sambil berdiri, mendesakku untuk segera pergi.

Kusalam dia. Ada jabat erat. Ia tersenyum lepas.

Aku tinggalkan ruang berukuran tiga kali dua meter itu, tempat hotel bertarif dua puluh dollar Singapura, Hotel Tionghoa, dikendalikan. Di kamar, aku putuskan menunda catatan perjalanan hari itu. Tidurlah, kata Pak Yap Poh Yuen.

Esok paginya, ia tidak ada. Ada orang tua yang lain, dengan hem putih bersih berlengan panjang dan celana biru tua yang licin. Ia pasti teman Pak Yap di foto semalam. Ia punya garis keriput, tapi garis yang lain. Mengapit kedua hidung memang, tapi hanya berbaris tiga memanjang di kening, mengelilingi bibir yang pucat, tanpa garis yang keluar dari ujung-ujung mata. Kedua matanya adalah mata Singapura. Kosong, mengambang lepas di permukaan, dingin, mati. 

 

Aku serahkan kunci. Si tua tolol yang bertugas itu, sungguh mati dia memang tolol, menahanku. Ia beri selembar kertas. ”Dari Mister Yap,” katanya datar.

Aku baru bertugas tiga hari lagi, dan kau sudah pulang. Bulan September aku pasti sudah di Vancouver, kalau aku masih hidup tentunya. Rumahku di 209 Blair Blud, Vancouver 37212. Datanglah, kalau kau belum mati kena bom. Aku dan istriku pasti senang. Wartawan gila, jangan lupa kirim aku kartu pos dari Bosnia.

Hari itu aku kelilingi kembali Singapura, dari ujung ke ujung. Aku lihat kemajuan itu, supaya tidak ketinggalan, kata Pak Yap Poh Yuen. Namun yang terbayang justru ribuan Pak Yap di Singapura, tertelan gedung-gedung pencakar langit yang angkuh, terhempas kereta bawah tanah yang cepat. Dingin, kering, mati.

***

 

Bagikan Postingan ini

Leave a Comment