Urusan Zoom di Masa Virus Corona

Cerpen dan penutur Liston P Siregar
Ilustrasi Musik Liston P. Siregar

DOWNLOAD

“Kalau habis pakai hand sanitizer jangan langsung masak, kesambar api tangan klen,” istriku mengingatkan kami waktu makan malam.

Pastilah sumbernya  grup WA, yang makin menggila di musim isolasi corona virus. Banyak yang lontang lantung di rumah dan sibuk nyebar pesan WA, untuk melucu, jaim, sok bijak, dan satu dua memang berbagi informasi penting.

Peringatan istriku tidak masuk akal. Tak satupun kami yang masih masak tapi pembantu dan kompor kami listrik. Jadi mau kandungan alkohol di hand sanitizer sampai 60%-pun, tak akan tersambar api. Tapi campuran panik dan banjir informasi, membuat istriku terprovokasi meneruskan semuanya ke grup WA keluarga.

Pernah aku kesal karena ada video 21 menit plus segala macam foto-foto tentang corona virus sampai telepon lemotku jadi makin woles. Kubilang, kirim sajalah linknya, dan cilakanya kutambah, “Tak perlulah kau tarok di grup WA kita, kalok kau baca koran adanya semua itu.”

Dia berang, “Koran otaknya komersil, yang di WA jujur saling perhatian keluarga sama kawan akrab.”

“Okeh,” kujawab tenang, “Tapi banyak yang loak-loak tak jelas.”

“Kaunya yang dor negatip.”

Panas kupingku, kutantang dia, “Jadi kau mau minum vodka yang katanya bisa membunuh virus corona.”

“Haram!,” bentaknya, “kalau ada yang mau berdosa mabuk-mabukan, urusan orang itulah.”

Mau kudebat lagi, tapi kubatalkan. Cuma bikin makin emosi tanpa kesepakatan akhir.

Kerja sama padu yang kami impikan waktu pacaran dulu ambruk bukan karena virus corona tapi sejak kelahiran anak kami, 20 tahun lalu. Tiap malam kami saling sikut di atas tempat tidur untuk nyiapkan susu untuk anak sulung yang lapar terus.

“Giliran kau!” perintahnya membangunkan dengan menjepit hidungku.

“Pakai asimu-lah lebih baik,” balasku.

“Udah kering, besok pagi baru ada lagi,” alasannya.

Setelah kedua anak kami bisa membaca, persaingan berlanjut, antara lain memilih dan menulis kartu ulang tahun yang lebih cantik, juga waktu sudah SMA, bersaing soal saran masuk universitas, dan waktu anak-anak kuliah bersaing untuk siapa dari kami berdua yang lebih ‘cool’.

Isolasi covid cuma menjadi lahan tarung yang baru saja.

Jadi waktu mulai lockdown dan harus ngajar pakai aplikasi Zoom, dia minta bantuan putriku, biarpun sudah dilihatnya aku berapa kali pakai zoom untuk rapat.

“Nggak semua orang yang tahu bisa mengajar dengan baik,” tegasnya penuh otoritas.

Istriku mengajar privat Bahasa Indonesia dan muridnya setahun ini adalah eksekutif perusahaan minyak asal Inggris. Biasanya dia datang ke kantor muridnya tapi virus corona membuat kursus lewat internet.

“Pakai Zoom,” saran sekretaris muridnya.

Cilakanya setelah di rumah masing-masing, guru dan murid itu sadar tidak paham Zoom dan sekeretaris tak bisa dipanggil ke rumah untuk membantu. Keduanya, guru dan murid tadi, mengandalkan putri masing-masing di rumah sendiri-sendiri dan semua orang tahu risiko jika orang tua bertanya tentang teknologi kepada anak sendiri. Amat berbahaya!

Nada kesal suara putriku terdengar ketika melatihnya pakai zoom sambil tergesa-gesa, “Ya pencetlah sharing file, kan jelas tulisan kek gitu….” Tapi tetap dia pilih yang seperti itu daripada bertanya ke saingan utamanya, yang jelas lebih woles, tenang, dan sabar.

Setelah Minggu malam latihan sekali lagi buka Zoom –juga dengan nada kesal dan tergesa-gesa dari putri kami- istriku memproklamirkan siap ngajar lewat Zoom. Aku yakin dia belum siap tapi diam saja, yakin komentarku akan menyulut perang dunia ke-1386.

Senin pagi tiba. Sekali-sekalinya dia bangkit lebih dulu dari tempat tidur dan kucari-cari, ketemu di ruang tamu.

“Pagi pak darling,” nadanya bersahabat menutup peluang protesku melihat ruang tamu ditata ulang habis.“Masa covid kan tak ada tamu.”

Sofa digeser untuk menampung meja sarapan yang dibawa dari teras belakang, dan kursi bacaku yang  bersandaran tinggi ikut dikerahkan. Di atas meja terpajang laptop Mac-nya, vas keramik dengan bunga warna-warni dari halaman, plus cangkir teh berukir oleh-oleh kakaknya dari Inggris, bukan mangkuk putih besar yang biasa dipakai sarapan.

Ada juga dua buku di atas meja, Strategi Pembelajaran Bahasa Indonesia dan “Adult Teaching, An effective way”  plus edisi Majalah Tempo terbaru. Sementara lukisan tiruan Raden Saleh diturunkan dan ditopang di atas kursi sehingga jadi latar belakang.

Aku menyaksikan dengan tertib. Setelah tata sana sini bersama pembantu, dia –mengenakan syal buatan Obin- duduk di kursi dan minta difoto pakai HP dengan instruksi jelas, “Kamu tunduk dikit Isah, mendekat ke komputer” supaya kira-kira seperti itulah nanti dia tampak di layar komputer. Isah tampak bingung tapi tak bisa menolak. Kalau minta tolong aku, maka maunya dia akan langsung tercapai tapi minta tolong saingat sengit???

Beberapa kali foto, beberapa kali tata ulang kursi, aksesoris di meja, dan lukisan di belakang bersama Isah.

“Ini mau kerja atau nampang…” pikirku tapi tersimpan di dalam mulutku dan yang ke luar adalah pertanyaan. “Jam berapa kau mulai ngajar.”

“Jam sembilan pak darling,” katanya  ringan tak melepas sorot mata dari HP-nya mengevaluasi tata letak pengajaran pagi itu.

Aku keluar dan menutup pintu penghubung ke ruang TV dan terlihatku tempelan tulisan warna merah, “At work, quiet please” dengan tanda seru.

Kuambil kopiku, kupasang TV untuk berita pagi tapi kupelankan suaranya. Isah keluar dan kutanya, “Sudah beres?”

“Sampun Pak.”

Tapi aku tak yakin.

Beberapa menit lewat pukul sembilan kupelankan lagi TV sampai nyaris tak bersuara. Terdengar sayup-sayup percakapan. Aku mendekati pintu, nguping.

“Bapak mohon terima invitation yang saya kirim lewat email,” kata istriku perlahan-lahan dengan jelas.

Lantas hening.

“Sudah Bapak buka aplikasi Zoom-nya,” tanya istriku lagi.

Ah, mereka rupanya berbicara lewat HP, jadi kuketuk pintu. “Perlu bantuan?” tanyaku pelan.

“We are fine…” jawabnya ke aku sekaligus menegaskan ke muridnya yang orang Inggris di seberang telepon sana sambil mengangkat jempol kirinya.

Baiklah, dan aku duduk kembali menonton berita pagi.

Tak lama pintu terbuka dan istriku bergegas naik ke atas. Ini berbahaya! Dia bangunkan putriku, yang selalu–entah pada masa tenang atau masa virus corona- tidur selepas tengah malam.

Aku diam, menanti bencana tiba.

Terdengar nada menghiba yang dibalas bentakan. “Kenapa Mamak ngaku semalam udah bisa?”

“Bukan di Mamak, tapi dia yang bingung.”

“Ya sana suruh dia tanya anaknya.”

“Sudahlah bantulah kami…” kata suara memelas itu lagi.

Ada hentakan langkah turun tangga, diikuti istriku di belakang, yang langsung menutup pintu ruang tamu, mengisolasiku dari masalah Zoom.

Kali ini sayup-sayup terdengar suara putriku, yang mengambil alih pemecahan masalah dan setelah sebelas menit –aku lihat jam di dinding di atas TV-, putriku keluar dengan membanting kecil pintu.

Dia ikut duduk selonjor di sofa, di sampingku. “Bapak sudah nawarin bantuan tapi ditolak,” jelasku menenangkan dia, yang diam membatu.

“Nggak nyambung tidur?” tanyaku bersimpati.

“Nanti ada masalah dibangunin lagi…,” suaranya masih kesal.

“Tapi sudah bereskan…Makasihlah,” akupun cari muka sikit.

“Laptop murid Mamak tak ada kamera. Makanya disuruh pencet ikon kamera, dia bingung…” kata putriku dengan sisa-sisa kekesalan.

“Ha? Masak laptop bos eksekutip tak ada kamera.”

“Bos jaman old yang semua diurus sekretarisnya, tak tau dia laptop lamanya tak berkamera…” jelas putriku dan menambahkan, “Tadi dibanguninya anaknya, tapi anaknya tak mau minjamin laptopnya.”

“Kalau cumak pake suara, kayak mana bagi layarnya?” tanyaku makin pingin tahu.

“Tadi dokumennya dikirim pakai email dulu. Udahlah Pak, jangan tanyak-tanyak terus.”

Akupun diam.

Berita pagi sudah habis tapi kutemani putriku duduk selonjoran antara nonton TV dan bermalas-malasan, ikut cemas menanti jika ada masalah baru dari ruang tamu yang bertranformasi jadi ruang kerja istriku di sebelah.

Sekitar pukul setengah sebelas, pintu terbuka dan istriku ke luar berjalan santai membawa cangkir teh berukir, sambil mengumumkan, “Istirahat lima belas menit. Makasih tadi ya anak Mamak sayang.”

Putriku diam dan aku basa-basi bertanya, “Gimana…Lancar?”

“Lancar jaya,” kata istriku mantab, “Efektif juga kok pakai Zoom,” tambahnya ringan gembira.

Hampir terucap dari mulutku, “Tapi nggak jadi mejeng kau ya…” tapi segera kugenggam kuat tangan kananku menahan komentar itu tidak loncat ke luar, mencegah perang dunia  ke-1387, biarpun pasti aku menang karena putriku pas sedang di kubuku.

***

Musik (Youtube Library)
1. Get Me on The Floor- Gunnar Olsen
2. Escape – Houses of Heaven
3. New Land – Albis

Bagikan Postingan ini

Leave a Comment