Andi dan Teman Barunya

Penulis : Arie Siregar
Versi Cetak Gora Pustaka Indonesia 2019
Pencerita : Indah Darmastuti
Ilustrasi Musik : Endah Fitriana

Andi berjalan mengumpet ke dapur sambil menenteng tas sekolahnya. Ia melihat sekeliling, memastikan tidak ada siapa pun yang melihatnya. Sampai di dapur, ia mengambil beras dari tempat penyimpanan beras. Dimasukkannya satu liter ke dalam kantong plastik lalu disimpannya ke dalam tasnya. Ia tidak tahu, ibunya melihat perbuatannya itu dari balik tembok ruang tengah. Mengintipnya sejak tadi.

            “Andi berangkat, ya, Bu!” teriak Andi dari pintu samping, setelah meninggalkan dapur dan memakai sepatu. Ia hendak berangkat ke sekolah.

            Ibunya lantas keluar dari persembunyian, mengejarnya ke pintu samping sambil balas berteriak, “Andi, tunggu dulu!”

            Andi berhenti dan berdiri di depan pintu, menunggu Ibunya. Ia menyandang tasnya yang bertambah berat karena seliter beras yang dimasukkannya.

            “Ada apa, Bu?” tanya Andi pada Ibu yang sudah berdiri di ambang pintu.

            Ibu tersenyum sekejap lalu meraih dan mengelus-elus kepala Andi.

“Kamu nggak bawa bekal kan? Ini ibu kasih uang saku, siapa tahu nanti kamu lapar di sekolah dan pengin beli jajan. Tapi jangan jajan sembarangan,” kata Ibu sembari memberikan selembar uang lima ribu rupiah.

            Andi tentu saja menerima uang itu dengan senang hati, lalu berangkat ke sekolah setelah mencium punggung tangan kanan Ibu. Lantaran sekolahnya tidak jauh, Andi berangkat sendiri berjalan kaki. Ia tidak pernah mau lagi diantar Ayah atau Ibu sejak ia naik kelas tiga. Sekarang, ia sudah duduk di kelas lima.

            Begitu Andi keluar dari halaman rumah, Ibu ternyata diam-diam mengikuti Andi. Berjalan agak jauh di belakangnya. Ibu mengikutinya karena ingin tahu mengapa tadi ia mengambil beras di dapur. Apakah akan memberikannya kepada orang lain sebelum masuk ke sekolah? Tanya Ibu dalam hati.

            Namun ternyata, perkiraan Ibu salah. Andi tidak mampir ke mana-mana. Andi langsung menuju sekolah. Tapi Ibu tetap saja tidak yakin kalau Andi akan menggunakan beras itu di sekolah, atau menyerahkannya kepada orang lain di sekolah. Maka Ibu akhirnya memutuskan pulang dulu ke rumah, dan akan melanjutkan lagi pengintaiannya saat nantiAndi pulang sekolah.

Benar kecurigaan Ibu, setelah bel pulang berbunyi dan Andi keluar dari gerbang sekolah, Andi ternyata tidak langsung pulang rumah. Ia berjalan sendirian menuju ke arah yang lain.

Ibu yang ternyata sudah bersembunyi di dalam warung depan sekolah sejak tadi, langsung keluar dan mengikuti Andi lagi. Ibu berjalan diam-diam agak jauh di belakang Andi. Hingga hampir lima belas menit berjalan, Ibu berhenti dan bersembunyi di balik sebuah pohon besar di pinggir jalan. Ibu berhenti karena melihat Andi menghampiri seorang anak laki-laki di sebuah pos ronda.

            Anak laki-laki yang dihampiri Andi itu, terlihat lebih tua dari Andi. Tubuhnya juga terlihat lebih tinggi dan besar. Ia menyambut kedatangan Andi dengan senyum yang sangat ramah. Tapi, penampilan anak laki-laki itu membuat Ibu khawatir. Ia Nampak kotor dan lusuh. Bercelana pendek dan kaos oblong yang sudah compang-camping. Ibu menduga ia pasti bukan anak sekolah.

            Ibu terus memperhatikan Andi dan anak laki-laki itu dari balik pohon hingga Andi memberikan beras yang dibawanya kepada anak laki-laki itu. Setelah itu, Ibu cepat-cepat pulang lebih dulu ke rumah

Di rumah, Ibu langsung menanyakan soal beras itu kepada Andi setelah Andi menyantap habis makan siangnya. Andi sempat terkejut dan takut ingin menjawab, karena mengira Ibu akan marah. Tapi setelah Ibu mengatakan “tidak akan marah”, Andi akhirnya menjawab jujur.

“Buat Andi kasih ke teman Andi, Bu,” jawab Andi pelan sambil menundukkan wajah.

            “Teman Andi siapa? Kok dikasih beras?” Tanya Ibu lagi semakin penasaran.

            Andi sempat bingung mau menjawab apa, tapi akhirnya ia menjelaskannya pelan-pelan tentang siapa temannya itu. “Namanya Lindu, Bu. Dia pemulung. Dia Cuma tinggal dengan ibunya di rumah kardus di pinggir sungai dekat sekolah. Ibunya sakit, nggak bisa berjalan lagi. Andi sudah beberapa kali kasih dia beras, dan kadang Andi bawain bekal Andi juga buat dimakan bareng sama dia.”

            “Terus, kenapa dikasih beras sama bekal Andi?”

            “Karena dua minggu lalu, dia tolongin Andi dari anak-anak jahat, Bu.”

            “Anak-anak jahat?” Tanya Ibu dengan raut wajah terkejut.

            “Iya, Ma. Anak-anak SMP yang sering memalak uang saku Andi setiap kali pulang sekolah. Waktu Andi digangguin sama mereka dua minggu lalu, Lindu nggak sengaja lihat dan langsung menghajar mereka. Berkat Lindu, Andi nggak pernah digangguin anak-anak nakal itu lagi, Bu.”

            Ibu benar-benar tidak tahu kalau ternyata Andi sering diganggu dan dipalak anak-anak nakal. Ibu sedih, tapi senang juga karena ternyata Andi mendapatkan teman baik, yaitu Lindu. Ibu kemudian beranjak memeluk Andi.

Dalam pelukan Ibu, Andi berkata, “sebenarnya, Andi sering coba ngasih Lindu uang jajan Andi. Tapi Lindu menolak. Makanya, Andi kasih beras. Andi sedekah, seperti Ibu.”

Ibu tersenyum menatap wajah Andi yang juga tersenyum. Ibu mencium kening Andi laluberkata, “Ya sudah. BesokajakLindukemari, ya. Kalaudiamausekolah, Mama akan bantu biaya sekolahnya. Kita sedekah buat dia.”

“Bener, Bu? Asyik!” Andi teriak kegirangan.

Bagikan Postingan ini