Cerpen – Kebaya Kenanga

DOWNLOAD

Oleh : Sanie B. Kuncoro

 

Kudengar pembicaraan itu pada suatu hari. Ketika itu aku sedang bertandang ke rumah Ibu sesudah mengantar anakku pergi ke sekolah. Ibu sedang menemui tamunya, yang kutahu adalah seorang duda yang istrinya meninggal 3 bulan berselang.

“Tentu lebih baik bila bahannya sutra, akan terasa lembut dan bagus jatuhnya” itu suara ibu.

“Ya, aku pasrah saja, dik Kenanga selalu tahu yang terbaik” jawab duda itu.

Kenanga adalah nama Ibuku. Tapi tidak lagi banyak orang memanggilnya dengan nama itu. Ibuku lebih dikenal sebagai Ibu Sebastian, nama ayahku, meski ayahku telah almarhum bertahun lewat.

“Warnanya?”

“Seingatku dulu kita memilih ungu muda. Tapi kalau dik Kenanga sekarang ingin memilih warna lain, tentu aku setuju”

“Ungu muda bukan warna yang lazim untuk pengantin. Bagaimana kalau putih? Akan kusulam daun anggur dan sulur-sulurnya dengan benang hijau pupus pada tepian kebaya itu, lalu tebaran bunga-bunga kecil ungu muda di sekitar lengan dan  pinggang”

“Betapa cantik Kenangaku nanti mengenakan kebaya itu”

“Ah, setiap pengantin akan selalu memancarkan kecantikannya yang khas”

Kubayangkan pastilah ibuku menjawab sanjungan itu sembari  tersipu.

Sedangkan aku, alih-alih tersipu, aku justru gemetar, bahkan nyaris membeku.

Semenjak ayahku berpulang 10 tahun lalu, sama sekali tidak terlintas dalam pikiranku bahwa ibuku akan menikah lagi. Meski hanya sekedar pengandaian. Sama sekali tidak terbayangkan bahwa akan ada sosok laki-laki lain yang akan menggantikan bayang ayahku di dalam rumah ini.

Sepuluh tahun berlalu, namun hingga hari ini segala hal tentang ayah masih hidup dengan utuh dalam benakku.

Setiap kali kembali ke rumah ini, seakan kulihat bayang ayah duduk di sudut beranda, lengkap dengan koran dan secangkir teh, seperti  yang dilakukannya sejak dulu. Bahkan sepasang sandal dan sepatu ayah, masih rapi dan utuh tertata di rak. Dua pasang alas kaki yang kupertahankan dengan teguh betapa pun Ibu berulangkali ingin membuangnya. Bahkan kuberikan order khusus pada pembantu untuk membersihkan dan merapikannya setiap hari.

Ingatan pada alas kaki itu senantiasa mengingatkan pada ritual beliau membasuh kaki dan tangan setiap kali pulang bepergian. Ritual yang kuwarisi dengan baik, bahkan kutiru dengan sempurna cara ayah melepas sepatu di ambang pintu, lalu menenteng alas kaki itu dan menelusuri rumah dengan telanjang kaki. Begitulah, tak ada bayang ayah yang terkikis dari benakku.

Maka sekarang saat menyimak pembicaraan Ibu tentang kebaya pengantin dengan duda itu, tak pelak lagi membuatku lebih dari sekedar gemetar. Aku juga  tak mampu mengungkapkan satu pertanyaan pun kepada Ibu, setelah duda itu pamit. Bukan karena kehilangan kata, melainkan lebih karena aku tak hendak menerima sebuah jawab yang tak kuinginkan.

Aku lebih memilih mencurahkan galau hatiku kepada nenek, yang adalah  mertua Ibu. Seperti biasa, nenek menyimak ceritaku dengan tekun. Caranya mendengarkan sama persis dengan gaya Ayah. Agaknya ayahku mewarisi sikap laku ibunya dengan sempurna.

“Benarkah?” tanya nenek kemudian dengan kesabaran yang terjaga.

“Ya, aku mendengar sendiri” jawabku meyakinkan

“Dulu memang mereka pernah dekat, sebelum kemudian Ibu memilih Ayahmu” nenek menepuk-nepuk punggung tanganku. “Barangkali mereka ingin menyambung kembali garis jodoh yang dulu tak sampai”.

“Apalagi yang hendak dicari?” sergahku sengit “Dengan usia nyaris uzur, bukannya lebih baik mengisi hidup dengan anak cucu?”

“Barangkali masih ada cinta masa lalu yang tersimpan”

“Lalu mereka pikir ini saat yang tepat untuk melanjutkannya?” sergahku dengan kemarahan tertahan “Tampak betul betapa tak setianya laki-laki itu, secepat ini menghampiri perempuan lain sesudah kematian istrinya”

“Sabarlah, jangan menuduh begitu “ nenek menenangkanku

“Bagaimana mungkin bersabar? Mereka akan mengkhianati ayah. Tidakkah nenek juga merasa terkhianati?”

Nenek menatapku tenang-tenang.

“Ayahmu sudah berpulang 10 tahun lebih. Hingga hari ini Ibumu tetap menjadi menantu yang baik bagiku. Kalau kemudian ditemukannya kembali seseorang dari masa lalu, akan tidak adil baginya bila kita menghalanginya atas nama kesetiaan pada almarhum ayahmu yang adalah anakku”

“Tapi ….”

Nenek mengusap punggungku. Usapan yang lunak, tapi menyalurkan sesuatu  entah apa yang mengalirkan ketentraman. Sama persis dengan usapan Ayah setiap kali menidurkan aku di masa kanak-kanak.

“Percayalah, Ibumu akan  tetap menjadi ibumu yang semula dengan atau tanpa ayah baru itu. Dia juga akan tetap menjadi menantuku seperti yang telah dijalaninya lebih dari 10 tahun lalu”

Kucari punggung nenek dan kusadarkan diriku di sana. Tipis punggung itu dengan garis tulang berbalut kulit yang renta. Namun alangkah kokoh kekuatan yang ada di dalamnya. Serupa punggung ayahku.

Lalu aku bertanya-tanya pada diriku sendiri, akankah kuwarisi kemampuan mententramkan dan melindungi itu bagi anakku?

*

 

Aku baru saja datang dan melepas alas kaki di ambang pintu ketika Ibu muncul dengan bergegas. Tampak betul rona sumringah pada garis wajahnya.

Aku melengos, mendadak merasa risih menemukan rona semacam itu –yang selayaknya meronai wajah perempuan-perempuan belia, saat berdebar mengingat kembali rayuan pacarnya semalam– tapi kini, warna yang sama meronai Ibuku.

“Kebetulan kau datang, ayo antar Ibu ke toko benang di pecinan” kata Ibu sembari membentangkan sehela kebaya sutra putih susu.

“Cantik bukan? Akan makin indah bila telah kusulam dengan bunga ungu muda”

Aku berpaling, sama sekali  tak hendak menatap kebaya itu. Kebaya pengantin Ibu. Ah, lebih tepat menamainya sebagai kebaya pengkhianatan.

“Mengapa harus ke pecinan? Beli saja di sembarang toko” tukasku acuh.

“Mana bisa? Kebaya ini harus kusulam dengan benang terbaik, dan benang sulam itu hanya ada di toko babah Hong”

Aku bergeming. Tak kupedulikan kesibukan Ibu berbenah diri.

“Ayo berangkat” ajak Ibu yang agaknya sedemikian antusias sehingga tak menyadari keenggananku “Kebaya itu harus kusulam dengan segera supaya selesai tepat waktu”

Astaga, betapa bergegasnya Ibuku untuk sesegera mungkin menyambung kembali jodoh tak sampai dari masa lalunya. Sedemikian tergesanya hingga diabaikannya keharusan untuk meminta persetujuanku. Jangankan persetujuan, Ibu bahkan tidak memberi tahu tentang rencana ‘pernikahan’ itu.

Begitulah pengkhianatan, selalu dilakukan tanpa pemberitahuan apalagi persetujuan.

“Ibu pergilah sendiri” kataku kemudian, dingin nadaku.

Ibu terkejut. Nampak sekali tak menduga sikapku

“Mengapa?”

“Aku tak hendak terlibat dalam pengkhianatan Ibu pada Ayah,” jawabku lugas

“Pengkhianatan? Apa maksudnya?” tanya Ibu heran.

“Bukankah duda itu kekasih lama Ibu? Ibu akan menikah dengannya bukan? Itu adalah pengkhianatan pada Ayah, maka aku tak hendak membantu Ibu mewujudkan kebaya pengantin itu” seruku tak tertahan. Kuluapkan apa yang telah memenuhi dan menyiksa benakku berhari-hari.

Ibu tercengang. Agaknya rasa cengang yang sedemikian hebat hingga membuatnya tak mampu berkata-kata atau melakukan sesuatu. Ibu hanya berdiri menatapku tak henti. Aku juga berdiri diam.

Rumah kami hening beberapa saat. Tak terlihat bayang ayah di sudut teras. Selalu begitu. Sejak dulu Ayah selalu menghilang setiap kali aku bertikai dengan Ibu. Nanti sesudah kami selesai, maka Ayah akan menghampiri  kami satu persatu, bergantian. Menguraikan pertikaian kami, yang selalu serupa benang ruwet, menjadi seutas tali yang terjalin rapi.

Momong siji lan sijine (mengasuh satu persatu)” begitu komentar nenek tentang perlakuan Ayah pada kami..

Sekarang Ayah juga menghilang. Akankah nanti bayang ayah mendatangi kami masing-masing? Ataukah Ayah menghilang karena tak hendak melihat pengkhianatan Ibu?

Beberapa saat kemudian Ibu menghela napas panjang, lalu dihampirinya kursi dan menempatkan diri di situ.

“Sekarang tidak ada Ayahmu yang bisa menekan kemarahanku padamu” gumam Ibu pelan, seakan lebih bergumam pada dirinya sendiri “Maka harus bisa kutekan sendiri kemarahan ini”

Aku bergeming

Kudengar lagi helaan napas panjang, lalu :

“Itu memang kebaya pengantin” lanjut Ibu kemudian dengan kesabaran yang sedemikian terjaga, yang tidak setiap kali dimilikinya.

“Tapi bukan untukku, melainkan untuk Kenanga”

“Kenanga adalah Ibu” sergahku.

Ibu menatapku lekat

“Ya, Harun menggunakan nama  itu bagi putri pertamanya, untuk mengenangku. Tak bisa kutolak karena nama manusia tidak memiliki hak patent”

Aku terkejut sesaat, tidak menduga.

“Sekarang Kenanga-nya Harun akan menikah. Mendiang Ibunya berjanji menjahit kebaya pengantin untuknya, tapi malaikat menjemputnya terlalu dini. Karena itu Harun memintaku untuk mewujudkan kebaya pengantin itu”

“Tapi…” bantahku tak selesai

“Ibumu ini adalah penjahit. Kusulam berbagai baju pengantin dan tiap helainya kujahit dengan bahan dan benang terbaik sepenuh hatiku. Dengan atau tanpa kaitan para calon pengantin itu dengan masa laluku”

Aku menunduk diam.

“Andai ada Ayahmu, tentu akan dimilikinya cara yang lebih baik untuk membuatmu mengerti” lirih suara Ibu, menampakkan keluhan yang pedih.

Aku termangu-mangu.

Hening kemudian, kami saling diam, bahkan napas kami tak saling terdengar.

Beberapa saat kemudian aku beranjak. Kuraih selop Ibu dan kuletakkan di ujung kakinya.

“Aku mau mengantar Ibu ke mana pun” kataku pelan-pelan.

Tanpa suara Ibu mengenakan selop itu. Dengan gerak yang nyaris samar, disekanya sesuatu di ujung mata, aku berpaling sembari melakukan gerak yang sama.

Sesaat sebelum kami berangkat, kulihat bayang Ayahku tersenyum-senyum di sudut teras. Ah, Ayah.

Lalu aku bertanya-tanya akankah bayang diriku akan setia menemani anakku dikemudian hari nanti sama seperti bayang Ayah menyertaiku?

 

***

 

Bagikan Postingan ini

1 Comments

  1. Wahhh aku selalu suka cara mba Sanie bercerita. Ntahlah…aku udah mulai jatuh hati pas baca cerpen “Lamaran” di majalah yang disediakan di sebuah bengkel mobil di Jebres…saat itu aku baru saja pindah. Dan aku terpesona dengan cara bertuturnya…

Leave a Comment