Cerpen – Lakiria

Lakiria

Cerpen: Daeng Maliq

Narator: Indah Darmastuti

download

 

Suara kentungan dipukul bertalu-talu memenuhi setiap penjuru kampung. Suara itu sampai ke rumah-rumah, menyelinap masuk ke bilik membangunkan bayi lelap dalam dekapan ibunya. Suara itu mengambang di udara, terbawa angin hingga ke lereng-lereng bukit, mengagetkan kawanan menjangan asyik bersantap di antara rerimbun belukar. Suara itu terdengar sayup-sayup melewati pematang sawah, memaksa orang-orang berdiri mematung meruncingkan pendengaran. Suara itu terdengar di mana-mana. Menyeruak di antara tumpukan jerami, membubung tinggi, mengangkasa bersama kepakan sayap gagak yang terbang mengitari perkampungan.

            “Ada apa ini?” teriak seseorang kepada yang lainnya.

“Entahlah, tapi ini pasti pertanda telah terjadi sesuatu,” jawab perempuan paruh baya di sampingnya.

“Iya, betul. Terakhir suara seperti ini terdengar 25 tahun silam,” tambah perempuan bercaping sambil mengusap kepala anaknya yang tampak kebingungan.

“Ayo, kita pulang saja dan memastikan apa yang sebenarnya terjadi,” ajak perempuan paruh baya sembari membersihkan lumpur di kakinya dengan air yang menggenang di sudut pematang.

Lalu berdatanganlah orang-orang dari setiap penjuru kampung. Asap kecil masih mengepul dari sisa bara di tungku-tungku yang dimatikan paksa dengan disiram air. Suara kambing mengembik melengking karena dipaksa pulang, menambah keriuhan sore itu. Rumah-rumah ditinggalkan begitu saja oleh penghuninya dengan pintu dan jendela terbuka. Derap langkah menyatu dalam irama menuju arah sama. Tak ketinggalan pula, seorang yang berada di ketinggian memetik buah kelapa, buru-buru turun lalu bergabung dengan gerombolan orang yang melintas di jalan setapak depan rumah, meninggalkan buah kelapa bergelimpangan tak jauh dari kandang sapi.

Orang-orang berjejal memenuhi halaman rumah yang dipagari pohon-pohon kelapa gading di kanan dan kirinya, dua pohon mangga mengapit pohon asam menjulang menjatuhkan bayangannya tepat di depan rumah. Wajah-wajah penuh keluh dan peluh, saling bersitatap melemparkan tanda tanya. Dada mereka dirambati penasaran, namun tak seorang pun sanggup bersuara. Seketika kentungan berhenti dipukul. Seorang perempuan bertubuh subur dengan susah payah naik ke sebuah tempat mirip panggung kecil seukuran dua rentang lengan orang dewasa.

“Saudaraku, musibah besar telah datang ….” Suaranya yang gemetar tiba-tiba tercekat.

Suasana berubah hening. Angin yang sedari tadi mengajak dedaunan bergoyang, kini beku ditelan sunyi. Sekawanan burung gereja hinggap di dahan pohon asam, bisu dalam senyap yang pekat. Orang-orang berdiri mematung, bersikeras menelan suara masing-masing. Satu-satunya suara berasal dari bilah bambu yang berderik seakan tak mampu menopang getaran tubuh yang menjejaknya. Tubuh gemetar itu mulai goyah dihempas gejolak rasa berkecamuk.

“Lakiria telah mangkat,” ucapnya serak sambil mengatupkan kedua kelopak matanya.

Hening berubah kelam. Semua mata terpejam dalam diam. Lamat-lamat bah yang menggenang dalam kalbu meluap menjelma mata air. Suara yang sedari tadi tertahan tak sanggup dibendung lagi. Pekik tangis menggelegar memecah senyap. Suara-suara sedih nan suram merayap ke seluruh penjuru kampung.

Tangisan pilu menyayat hati menggema bak suara katak di malam gulita. Air mata menggenang di mana-mana. Mengalir bagai bah menjebol dinding-dinding setiap rumah. Rumah-rumah yang ketika Lakiria bertandang senantiasa bergelimang suka. Kini karam dalam genangan kenangan serta linangan air mata duka. Semua rumah mendendangkan kidung lara.

Setiap dada merasakan sesak yang berdesak-desakan menghadirkan jejak sosok dalam ingatan di masa silam. Kala itu, hari kesepuluh di bulan kedelapan tatkala serombongan orang berseragam menyambangi perkampungan. Teriakan demi teriakan melengking seperti lolongan serigala di tepian hutan. Orang-orang menjerit lari terbirit-birit hingga terjungkal ke dasar parit. Di mana-mana terdengar riuh rintih orang-orang menahan perih. Sebelum surya hijrah ke barat, rombongan berseragam itu telah raib menyisakan asap yang mengepul di atas puing rumah-rumah yang terbakar.

Belum genap sepekan gerombolan berseragam itu kembali menyatroni perkampungan. Tak ada asap dan huru-hara. Mereka menggeledah rumah-rumah dan menyeret paksa laki-laki yang tersisa, baik dewasa maupun kanak-kanak. Itulah hari di mana mata terakhir kali memandang sosok laki-laki. Tuduhan sebagai kaki tangan pembelot, memaksa orang-orang kampung melanjutkan sisa hidup tanpa tangan kekar laki-laki.

Rumah-rumah dibangun kembali di atas puing-puing kepedihan. Orang-orang mulai menanam asa di dada. Di mana-mana hanya ada perempuan. Perempuan mengasuh anak dan ternak. Perempuan membajak sawah dan menjerat ikan di rawa. Perempuan berburu rusa dan memanjat pohon kelapa. Perempuan menjadi pemimpin di antara para perempuan.

Lakon hidup kembali ditapaki, meski lambat, namun sarat makna. Segala duka terkunci rapat di lubuk terdalam. Orang-orang menenun mimpi dari serpihan asa yang mengendap di palung jiwa. Semua berjalan sebagaimana rupa awalnya. Senyum mulai tersungging bersama bulir-bulir padi yang menguning. Gelak riang anak-anak menggiring ternak ke hamparan sabana di tepian muara.

Hingga di suatu malam yang basah, tersebar kabar ke seluruh penjuru kampung. Kabar itu mengalir melalui parit lalu melewati setiap rumah dan mengetuk pintu, memaksa penghuninya segera bergegas. Kabar itu mengalun di antara rintik gerimis lalu hinggap di telinga orang-orang. Mereka yang terlelap seketika bangkit dan berlalu. Riuh orang-orang serupa langgam malam, menebar syahdu penawar rindu.

Ingar bingar orang-orang melewati jalan-jalan perkampungan. Nyala obor di tangan menyerupai kawanan kunang-kunang yang tampak dari kejauhan. Degup jantung berpacu dengan kaki-kaki menjejak tanah basah. Orang-orang berdatangan menghampiri sebuah rumah bambu di selatan perkampungan. Rumah itu kini dikepung tanda tanya yang berloncatan dari kepala orang-orang kampung.

Seorang perempuan paruh baya mengenakan sarung dan kepalanya dililit kain bercorak warna kulit jati, berdiri mengangkat kedua tangannya. Dialah perempuan pemimpin perkampungan berusaha menenangkan orang-orang. Di samping kirinya berdiri pula seorang anak yang tingginya hampir sebahu. Anak itu tampak pucat dalam remang nyala obor. Tubuhnya gigil dan gemetar sembari bibirnya bergerak-gerak seperti sedang merapal mantra. Ia hendak berbalik tatkala lengan kanannya digenggam perempuan di sampingnya.

“Semuanya tenang dulu, biarkan saya berbicara,” pimpinan kampung mulai bersuara.

“Ada apa ini?” seru seseorang yang berada di antara kerumunan.

“Diberkatilah kita semua, anak ini rupanya seorang laki-laki!” tandasnya sambil memegang kedua bahu anak itu.

            Suasana hening sekejap, lalu ramai oleh sorak-sorai. Rasa haru dan bahagia berbaur udara malam yang perlahan menghangat. Orang-orang berebutan mendekap anak itu, tak terhitung berapa bibir yang mengecup kening, pipi, dan bibirnya. Lalu tubuh anak itu digotong beramai-ramai, diangkat ke atas kepala berpindah dari satu tangan ke tangan lain. Setelah puas, anak itu didudukkan di atas balai bambu yang berada tepat di depan rumah.

Entah siapa yang memulai, mereka tiba-tiba duduk bersila beralas tanah basah menghadap anak kecil itu. Dipandanginya paras itu lekat-lekat, dari rambut kemerahan sebahu hingga ke ujung kuku kakinya yang kehitaman. Orang-orang masih setengah percaya bahwa anak yang selama ini dikenal sebagai perempuan rupanya seorang laki-laki. Binar mata orang-orang kampung memancarkan cahaya pengharapan. Doa-doa dirapalkan semoga keselamatan senantiasa menyertai laki-laki terakhir di kampung mereka.

            Di balik sukacita terselip tanda tanya di dada orang-orang. Untuk alasan apa Maraya membungkus identitas anaknya dan selama ini hanya menjadi milik rahasia. Bibir Maraya mulai terbuka, perempuan kurus yang tak banyak bicara semenjak suaminya dibawa pergi gerombolan berseragam kini angkat bicara. Kata-kata yang selama ini hanya mendekam di balik bibirnya, kini berhamburan keluar menjawab rasa penasaran orang kampung. Diterangkannya bahwa semenjak dua anak laki-laki terdahulunya meninggal di usia bayi, ia mulai mendandani bayi ketiganya layaknya perempuan. Mitos itu rupanya berhasil, terbukti anaknya yang sehari-hari dipanggil Ria itu tetap hidup hingga hari ini.

            Misteri kini telah terkuak. Bermula saat sore, selepas bermain hujan Ria berganti pakaian di belakang gerumbul bambu. Lalu tak sengaja Amina yang hendak pula berganti pakaian menyaksikan pemandangan yang tak lazim itu. Darah Amina berdesir terserang kaget, memaksa kakinya berlari sekencang-kencangnya menyibak tirai-tirai hujan. Dadanya turun naik memompa kata-kata yang tersumbat di kerongkongannya tatkala menerangkan pada pimpinan kampung perihal apa yang dilihatnya. Pimpinan kampung lalu berkirim kabar ke setiap rumah agar berkumpul selepas santap malam di rumah Maraya. Itulah hari di mana Lakiria ditemukan.

            Sejak malam itu Ria berganti nama menjadi Lakiria dan didaulat menjadi orang terpenting sekampung. Sebagai laki-laki terakhir, Lakiria dijaga dan dimiliki orang-orang secara bersama. Segala macam kebutuhan hidup menjadi tanggungan orang-orang, termasuk rumah besar yang terbuat dari pohon jati pilihan dan dibangun di tengah perkampungan. Lakiria menjelma sosok teristimewa. Ia hidup dan menghidupi harapan orang-orang kampung.

            Ketika berumur 17 tahun, Lakiria menyandang status baru. Perempuan berumur di atas 40 tahun mengangkatnya sebagai anak. Mereka yang berusia 17 hingga 40 tahun mendapat hak untuk dikawini dan menyandang status isteri Lakiria. Lalu mereka yang muda-muda, tetap berbangga sebagai adik-adik Lakiria dan sabar menunggu sampai mereka pun berubah status. Peraturan baru nan aneh ini adalah hasil mufakat orang-orang kampung demi memperpanjang usia perkampungan.

            Jumlah isteri Lakiria tak pernah berhasil dihitungnya, mungkin melebihi domba dan kambing yang dimilikinya. Hal demikian memaksa Lakiria berpayah-payahan mendatangi rumah isteri-isterinya. Hingga bertahun-tahun hal itu dilakoninya, tak satu pun dari isteri-isterinya yang berhasil bunting membuahkan anak laki-laki. Keinginannya dan harapan orang-orang terhadap anak laki-laki memaksanya bekerja lebih keras. Beruntunglah usia muda serta ototnya yang kokoh dapat diandalkan dan menjadi amunisi berharga.

            Pernah sekali waktu, Lakiria menangkap seorang pemburu dari hutan lalu membawanya ke perkampungan. Ia berharap laki-laki pemburu itu dapat membantunya mendapatkan anak laki-laki. Usul itu segera ditolak orang-orang kampung, tak satu pun dari isteri-isterinya yang rela dikawini orang asing. Apalagi orang asing itu berperawakan serupa gerombolan berseragam yang dulu menyatroni perkampungan. Peristiwa masa lalu itu tak pernah benar-benar berlalu, kenangan pahit itu kekal dalam ingatan orang-orang.

            Kini Lakiria telah mangkat. Perempuan-perempuan yang menjadi ibunya larut dirundung duka lara atas kehilangan anak laki-lakinya. Perempuan yang menobatkan diri menjadi isterinya kini harus pasrah dan merelakan suaminya menjadi milik keabadian. Pedih tak tertanggungkan dirasakan pula bagi adik-adik Lakiria yang tak sempat berubah status meski kelak usia mereka telah ranum. Kepergian Lakiria menguras air mata orang-orang dan membuat kampung menjelma rahim kesedihan.

            Berhari-hari suara tangisan tak reda-reda. Tangisan itu telah akrab di bibir dan telinga orang-orang. Tangisan itu betah berlama-lama berada di kampung, berdiam di rumah-rumah. Hingga malam ke-40 saat dilangsungkan kenduri, sebuah tangisan terdengar melengking melebihi tangisan orang-orang. Tangisan dari orang termuda di kampung. Seorang bayi laki-laki lahir yang membuat Lakiria tersenyum dalam tidurnya yang abadi.[]

Bagikan Postingan ini

Leave a Comment