Cerpen – Perempuan yang Melahirkan Seekor Ular

DOWNLOAD

Astuti Parengkuh

Narator: Astuti Parengkuh

 

Di pagi buta perempuan itu sudah menggandeng tangan kedua anaknya yang masih balita di tengah keramaian pasar. Dia berperang melawan kedatangan matahari agar menjadi pemenang setiap kali matanya membuka dunia. Kelahirannya kembali ke bumi diiringi  suara alarm jam weker hadiah dari toko perkakas Babah Cong saat dia menjadi juru parkir dua tahun silam. Setiap kali bangun, setiap kali itu pula dia menjadi manusia baru yang lupa akan hari-hari lalu. Sedang orang lain berusaha merajam-rajam masa silam, dia hapus saja memori yang tak pernah mengendap dan lindap dari ingatan.

Penduduk kampung mengenal perempuan itu sejak dia masih kanak-kanak.  Safitri namanya. Dia gadis berparas ayu, berambut ikal mayang dan berkulit putih. Matanya bak kejora, orang Jawa bilang kriyip-kriyip, sayu menggoda. Dahinya agak lebar, sebagai penasbih bahwa dia pintar, berotak cerdas. Beberapa penghargaan berupa piala dan predikat juara kelas pernah disandangnya. Dia bagai bintang fajar yang selalu muncul di pagi subuh.

Pada suatu waktu Safitri berbelok arah. Dia tak lagi menekuni buku-buku. Dia tak juga seperti biasa, pandai menyelesaikan rumus aljabar. Dia tak bahagia kala melakukan praktikum biologi di ruang pengap sebuah bangunan gedung SMP yang telah tua. Juga bukan lagi anggota petugas upacara bendera yang trengginas dan cathas saat mengibarkan bendera merah putih di tiang yang terpancang di halaman sekolah.

Safitri memutar haluan hidupnya dari seorang pelajar yang pintar menjadi seolah-olah dia penyanyi dangdut. Dari sebuah kelompok musik- satu-satunya yang ada di kampung- Safitri mencoba menguji kecakapannya dalam bernyanyi. Perhelatan demi perhelatan pernikahan di kampung dia jajaki demi cita-cita menjadi penyanyi tersohor.

Mimpi-mimpi tentang keindahan diri, bak putri yang menjadi idola para pemujanya. Cita-cita menjelma bintang di layar kaca serta pusat pandangan kala sedang beraksi di panggung gembira. Angan menemukan kehidupan yang serba ada, penuh kemewahan. Semua yang tengah menjadi impian perempuan muda itu seakan-akan nyata di depan mata. Dia terbuai tayangan-tayangan televisi dan omongan orang tentang gemerlapnya dewa-dewi panggung.

Perempuan muda yang telah lepas masa anak-anak-ditandai dengan tangisan pertama saat menyadari dia telah mendapatkan tanda-tanda menstruasi-di saat untuk pertama kali dia manggung pada acara mantu Pak Lurah. Tepat di usia menginjak 14 tahun, dan duduk di bangku kelas 2 SMP. Remaja itu bagai kembang yang tengah mekar dari kuncup yang semestinya tersembunyi di antara rimbun dedaunan. Simboknya membuat nasi bancakan demi putri kedua dari lima bersaudara itu.

Safitri, saiki awakmu wes perawan, ora usah dolan-dolan, wengi pisan,” begitu kata-kata simboknya. Namun, apa kata jiwa muda Safitri berbeda dengan Simbok dan kakaknya. Perempuan muda itu masih saja mendatangi kelompok musik di setiap akhir pekan dan berlatih menyanyi hingga dini hari.

Di saat teman-teman sekolahnya menyiapkan amunisi untuk menghadapi serangkaian ujian kelulusan, Safitri enak saja menghapal melodi lagu-lagu. “Biyung, aku ingin menjadi biduan. Aku ingin menjadi penyanyi seperti Nduk Lindri yang sekarang makin ngetop” demikian kilahnya setiap kali Simbok menasihati. Percuma memasukkan kata-kata sindiran halus ke telinga Safitri. Simbok dan anak itu seperti dua kutub, yang sebenarnya tarik menarik namun dipisahkan oleh keadaan.

Tibalah saat hari penantian laksana kiamat bagi sedikit para pelajar yang abaikan kelulusan. Safitri tercenung mendapati angka-angka merah di buku rapornya. Dia lulus dengan nilai sangat memprihatinkan. Simbok menjual sekotak perhiasan, satu-satunya peninggalan mendiang sang bapak, demi ijazah dan sekolah menengah kejuruan bukan milik pemerintah.

Dua tahun bersekolah, apa yang diharapkan oleh simboknya tak kunjung menjadi kenyataan, prestasi-prestasi di sekolah. Safitri masih bergulat dengan profesi penyanyi paruh waktu. Nilai-nilai pelajarannya jeblok. Seragam putih abu-abu, entah sering terselip di antara tumpukan baju-baju pentas. Surat peringatan dari guru bimbingan tergeletak lusuh di atas meja belajar.

Biyung, aku tak lagi bisa memberimu arti, Safitri bergumam sendiri di tepi ambin, saat matahari mulai berjalan ke arah barat. Dan teriakan ayam-ayam tengah berkejaran di kandang belakang rumah bersahut-sahutan diabaikannya. Dia mulai bermalas-malasan bertemu dengan bangku dan kursi sekolah.

Tiba-tiba perempuan muda itu berhenti bulanan, tepat ketika dia menginjak semester awal di kelas terakhir sekolah kejuruan. Perutnya kelihatan menonjol, juga pantat dan payudaranya lebih padat dan berisi seperti buah mangga setengah matang, ranum.  Wajahnya sedikit pucat, meski kecantikannya tetap mewujud. Simbok malu lalu menanyai Safitri dengan serentetan kata tanya, yang dijawab oleh perempuan muda itu dengan bisu dan pandangan kosong. Dia duduk mematung. Safitri bungkam seribu bahasa.

Untuk menutup aib Safitri akhirnya dinikahkan dengan Reno, salah satu pentolan grup musik yang selama ini  menjadi tumpuannya. Simbok kewirangan, maka tak pernah ada upacara perayaan bagi Safitri dan suaminya. Seorang naib dan beberapa tetangga pilihan saja yang datang di hari suaminya mengucap ijab qabul.

Simbok, dosa apa gerangan yang menjadikanku perempuan nista seperti ini, Safitri sambat di antara perih yang dia rasakan tatkala Reno sang suami sering memukuli dirinya. Pun tatkala kehamilannya yang kedua. Perilaku biadab Reno semakin dia rasakan dan puncaknya adalah ketika Safitri tak lagi bisa bekerja sebagai tukang parkir di toko Babah Cong. Langit seolah-olah runtuh lalu menimpanya.

Safitri menjadi sosok pendiam. Bukan lagi remaja kemayu yang suka hura-hura memamerkan koleksi baju pentasnya. Bukan pula seorang penyanyi panggung yang kadang canggung jika mengingat usia yang masih muda dan harus memamerkan goyangan tubuhnya. Perempuan itu menjadi makhluk soliter, jauh dari ramah tamah tetangga dan kawan-kawannya. Kandungannya yang semakin besar, membuatnya malu untuk ke luar rumah. Sesekali dia membuka pintu jika anak sulungnya yang masih berumur dua tahun menangis meronta-ronta meminta jajan

Orang-orang kampung melihat dia sebagai sosok perempuan yang digantung. Janda bukan, istri pun juga tidak. Reno pergi tanpa meninggalkan barang atau sesuatu pun yang bisa dijadikan aji-aji. Hanya selembar surat nikah yang dia percayai sebagai satu-satunya benda pusaka selama ini. Hingga pada suatu malam, terjadi sebuah peristiwa yang menggegerkan penduduk di sekitar rumah kontrakannya.

Safitri melahirkan bayi seorang diri tanpa pertolongan bidan, ataupun kerabat dekat. Tetangga yang trenyuh mendengar suara tangisan bayi di tengah kegelapan malam, kemudian menghampiri kediamannya. Pertolongan pertama adalah merawat sang jabang bayi merah, kemudian memperbaiki kondisi Safitri yang lemas dan banyak mengeluarkan keringat.

Plasenta si bayi belum juga keluar, sampai bidan desa pun datang. Nyaris Safitri dibawa ke rumah sakit, hingga kemudian ari-ari itu keluar dari perut perempuan yang bermuka pucat seperti mayat.  

“Ular! Ular! Aku melahirkan seekor ular!,”teriak Safitri di tengah kesibukan para tetangga merawat dirinya dan bayinya. Sedang si sulung yang masih berusia dua tahun tengah berada di pangkuan seorang ibu.

“Ini tembuni-mu, Safitri. Bukan ular,” kata-kata lebut bidan desa menenangkan Safitri. Safitri meracau tak berkesadaran. Dia kemudian dikompres di dahi karena tubuhnya mendadak demam. “Aku telah melahirkan seekor ular,” kalimat itu keluar lagi dari mulut Safitri. Bidan desa dibantu oleh para tetangga akhirnya menenangkan perempuan setengah waras itu dan mengajaknya berkomunikasi meski tak nyambung.

Ya, semenjak beberapa bulan lalu ketika perempuan itu tak pernah lagi bertegur-sapa dengan para tetangga, sesungguhnya ada gunjingan yang berseliweran menyebut jika Safitri tengah dilanda depresi. Tak pelak,  perangkat desa menyambangi rumahnya agar dia mau bersosialisasi lagi dengan warga. Ketika ibu dan kakaknya datang untuk merawat anak sulungnya, Safitri kukuh mempertahankan. Dokter yang berdinas di Puskesmas merujuk perempuan itu untuk dirawat di rumah sakit jiwa.

Kemudian dia dirawat dalam beberapa waktu. Tak ada yang menyambangi saat dirinya dalam perawatan. Perempuan itu telah kehilangan segalanya; moral, harga diri dan kasih sayang. Dia kini telah dicap sebagai penyandang difabel psikososial. Berbagai cara tengah dilakukan agar Safitri kembali seperti sedia kala. Petugas dari dinas sosial wira-wiri mendatangi rumahnya memberi undangan-undangan pelatihan.

Satu dua hari dia terkadang ikut kursus-kursus tanpa berbayar itu. Namun, praktik-praktik pengerjaan tak pernah menghasilkan sempurna. Entah apa yang tengah berkecamuk dalam pikirannya kini. Hidupnya sungguh kacau-balau. Sesekali Safitri terlihat tersenyum dan tertawa sendiri, sesekali pula dia terlihat murung. Tak ada seseorang pun yang bisa membaca pikiran Safitri.

Dan pagi ini, seperti hari-hari sebelumnya. Ketika matahari masih bersembunyi di balik cakrawala, Safitri tengah menutup pintu rumah kemudian berjalan menyusuri gang sempit. Tempat tinggalnya berada di antara tembok-tembok tinggi area perkampungan dekat pasar. Berteman dengan kesunyian yang selama ini tengah dirasakannya bersamaan keriuhan suasana pasar, Safitri tengah mengabdikan dirinya menjadi buruh gendong. Profesi yang digelutinya semenjak beberapa minggu anak keduanya lahir.  

Safitri telah jauh dari mimpi-mimpi menjadi seorang penyanyi. (*)

  

 

  

 

 

Bagikan Postingan ini

Leave a Comment