Cerpen Hermawan Aksan
Versi cetak Suara Merdeka, 7 November 2010
Narrator: Astuti Parengkuh
Ilustrasi musik: Endah Fitriana
Cerita Satu: Kurusetra
MAKA berceritalah Ki Dalang. Kocap kacarita….
Baratayuda akhirnya pecah juga meskipun sudah dilakukan berbagai
upaya untuk mencegahnya. Bahkan seorang Kresna, titisan Wisnu yang
sangat dihormati dan dipuja, tak mampu membendung gejolak saling
menumpah darah antarsaudara.
Begitu sabda sang raja kedua kubu membahana, kedua pasukan pun
saling berhadapan langsung di arena Kurusetra, dengan tameng di depan
dada, pedang dan tombak di genggaman, dan tanda tanya di kepala:
untuk apa? Toh mereka tinggal menunggu auman sangkakala. O, gelar
pasukan yang alangkah indah! Bukan kuda-kuda yang bersiap tawur
dalam perang campuh, bukan pula pameran kekuatan yang hanya
mengandalkan kegagahan diri berlebihan, melainkan langkah tegap dan
sikap tengadah untuk bersiap memulai tarung secara ksatria. Masing-
masing akan berhadapan dengan lawan yang setara.
Tak ada perwira yang sedia beradu pedang dengan tamtama. Tak ada
ksatria yang sudi membasahi tangannya dengan darah para sudra.
Sebaliknya, tak ada tamtama yang memberanikan diri menghadapi
perwira. Kemenangan akan ditentukan oleh gelar pasukan, tapi juga oleh
satu per satu kedigdayaan.
(Tapi, oh, apakah kemenangan juga ditentukan oleh takdir? Siapa yang
menentukan takdir? Kalau takdir sudah menentukan siapa yang bakal
menang, buat apa harus terjadi perang?) Ketika sangkakala meraung di
fajar yang mencekam, kedua kubu melaju dengan derap langkah yang
mantap dan kecepatan yang niscaya. Genderang dan tambur berdebum.
Dan ujung-ujung pedang yang saling membentur, disertai sorak-sorai yang
menggema, lebih menggairahkan ketimbang gamelan istana.
Lalu, tatkala tajam tombak menembus dada, dan menyemburkan darah
dari lubang seberang, jiwa pun melayang menuju arah yang benderang.
Tiada sesal ketika ujung-ujung senjata menembus tubuh mereka karena
tiap jiwa terbang menuju nirwana.
Sangkakala kembali berkumandang pada saat sang surya menyelinap ke
balik gunung dan langit tinggal garis-garis semburat merah. Tombak dan
pedang kembali tersarung dan sorak-sorai surut ditelan remang petang.
Semua prajurit menarik langkah ke kemah, menghimpun lagi tenaga dan
menyusun gelar baru, mempersiapkan episode berikutnya esok hari.
Esoknya, dan hari-hari berikutnya, bersiaga para ksatria, yang selama ini
memenuhi halaman kitab-kitab sastra. Para putra Pandawa dan Kurawa
saling berlaga beradu senjata. Masing-masing sudah punya lawan.
Pancawala, Angkawijaya, dan tentu saja Gatotkaca, bertarung sebagai
perisai Amarta, beradu jiwa dan raga dengan Burisrawa, Lesmana, dan
Jayadrata dari Hastina.
Dan, setelah para putra mereka perlaya, lalu Duryudana, Dursasana, dan
kesembilan puluh delapan adiknya, dibantu para waskita seperti Karna,
Durna, Bisma, dan Salya tampil satu demi satu mendarmabaktikan jiwa-
raga mereka untuk negeri yang mereka bela, Arjuna dan Bima maju
menjadi penentu….
“Ki Dalang!” Ki Dalang memandang arah suara datang.
“Mengapa para putra Pandawa harus gugur meskipun demi kejayaan
negeri mereka? Bukankah mereka adalah generasi yang lebih muda, yang
mestinya berkesempatan menghirup udara kehidupan lebih lama?”
Ki Dalang terdiam. Perang terhenti.
“Jawablah, kami ingin kejelasan. Bagaimana logika yang mendasarinya?
Bagaimana kita menarik moral dari cerita yang memutus sebuah
generasi?”
“Saya tak bisa menjawab pertanyaan ini. Kisah Baratayuda sudah digelar
beribu kali dan tak pernah ada perubahan cerita.”
“Bukankah Ki Dalang punya kewenangan membikin cerita yang baru yang
berbeda?”
“Kalau berubah, bukan lagi Baratayuda namanya.”
Penonton bungkam. Perang masih terhenti. Dan angin mati.
Cerita Dua: Astrajingga
KI Dalang kalang kabut ketika ia tak menemukan Semar dan anak-
anaknya di kotak wayang. Padahal, tiba saatnya para punakawan naik
pentas, melepas ketegangan di antara dentang pedang dan jerit kematian
di Kurusetra.
“Tadi ada,” kata pembantu dalang, dengan suara bergetar oleh rasa
gentar. Ia bertugas menyodorkan wayang yang diminta Ki Dalang.
“Coba cari lagi, siapa tahu keselip di antara para buta,” ucap Ki Dalang.
Pembantu dalang meneliti satu demi satu deretan wayang yang sudah
terpasang, baik yang berjajar di sebelah kiri maupun di sebelah kanan
batang pisang. Namun ia tak menemukan Astrajingga, Udawala,
Nalagareng, dan ayah mereka.
Diaduk-aduknya isi kotak wayang, siapa tahu ia lupa belum mengeluarkan
keempat wayang berwajah lucu itu meskipun, seingatnya, ia sudah
melakukannya sejak sore menjelang pentas. Ia hafal bahwa Ki Dalang tak
pernah menunggu puncak malam untuk menggelar gara gara para
punakawan. Semua isi kotak sudah dikeluarkan, tapi para punakawan itu
tak juga ditemukan. Ke mana mereka? Apakah ada yang mencuri? Buat
apa? Bahkan dalam bentuk ukiran kayu, harga punakawan tak lebih dari
para raksasa buruk rupa.
Lengking merdu Nyi Sinden sudah lewat setengah kawih. Mestinya,
Astrajingga langsung muncul dari awal dan berjaipongan.
“Mana, nih, Cepotnya!” teriak penonton.
Ki Dalang kian gelagapan. Dengan matanya ia bertanya. Namun si
pembantu, yang sudah bermandi peluh, karena lelah dan takut, hanya bisa
mengangkat bahu.
Dan, bahkan hingga lengking kawih pudar di langit malam, entakan-
entakan kendang hanya mengiringi pentas batang pisang yang hampa.
Akhirnya, Ki Dalang meneruskan pentasnya tanpa kehadiran punakawan,
tanpa selingan humor-humor segar yang menertawakan. O, bisa saja ia
memainkan para buta untuk bercanda, tapi tentu tak akan bebas seperti
senda-gurau Astrajingga dan Udawala. Dan yang pasti, tak mungkin
Yudistira bersabda sekaligus bercanda.
Ketika pentas tuntas, dan Ki Dalang membereskan wayang-wayangnya, ia
mendapati keempat punakawan mengintip dari balik kotak. Ki Dalang
terperangah.
“Nah, ini ada! Di mana tadi menyimpannya?” tanya Ki Dalang kepada
pembantunya.
Sebelum pembantu dalang menjawab, sekonyong-konyong Astrajingga
tertawa. Ki Dalang terkesiap. Bagaimana mungkin wayang tertawa
sendiri?
“Jangan terkejut, Ki Dalang,” kata Astrajingga. “Kami memang
memutuskan untuk istirahat dulu. Di negara yang sudah makin lucu ini,
buat apa kami tampil kalau tak lagi membuat penonton tertawa?”
Cerita Tiga: Indraprasta
KIAN panik Ki Dalang bukan kepalang. Ia tak bisa lagi menemukan
wayang-wayang dengan cepat. Wayang-wayang seakan-akan berebut
tempat di sebelah kanan batang pisang. Para raksasa, siluman, dan
denawa buruk rupa berdesakan dengan para ksatria tampan. Batas
memudar antara pembela kebenaran dan pengusung kejahatan.
Mengapa bisa begitu, Ki Dalang tak tahu. Ketika menyusun wayang-
wayang, ia dan pembantunya yakin bahwa para ksatria semua berjajar di
sebelah kanan dan para raksasa berbaris di sebelah kiri batang pisang.
Karena itu pergelaran menjadi tersendat-sendat seperti laju kura-kura. Ia
yakin sudah meraih Prabu Yudistira, eh, yang terpegang malah
Dursasana. Nyaris ia memainkan tokoh Hastina itu ketika ia membuka
adegan pasowanan di Keraton Indraprasta. Ia juga sudah siap menarikan
Astrajingga dalam entakan kendang yang mulai menggila, tapi yang
terpegang di tangannya adalah Dewi Supraba. Sungguh memalukan kalau
sampai sang dewi swargaloka berjaipongan sambil bercanda….
Yang lebih ganjil, Ki Dalang tak mampu lagi mengendalikan cerita. Alur
mengalir liar di luar kehendaknya. Ia sudah mempersiapkan cerita tentang
pengukuhan Yudistira sebagai raja Indraprasta, sesuai dengan permintaan
si empunya hajat, yakni seorang bupati yang baru terpilih.
Namun cerita berkembang tak jelas arah ketika tiba-tiba saja Bima
menolak pengangkatan itu. Bima beralasan kakak sulungnya berkubang
dosa yang mustahil terampunkan, yakni bermain dadu dengan
mempertaruhkan Kerajaan Hastina, bahkan istrinya sendiri, Dewi Drupadi.
Bima pun mengajukan diri untuk menjadi calon penguasa alternatif.
Alasannya, dialah yang selama ini menjadi tulang punggung perjuangan
Pandawa. Ia siap bersaing dengan kakaknya sendiri untuk berebut takhta.
Bima tidak sendiri. Sang panengah, Arjuna, pun mendadak berteriak
macam pelantang. Ia juga merasa berhak untuk bersaing dengan kedua
kakaknya guna berebut mahkota kebesaran. Arjuna berkilah, karena
memiliki rupa bak Kamajaya, dialah yang paling pantas menjadi raja.
Bahkan Nakula dan Sadewa, yang biasanya tak pernah bicara, kali itu juga
turut mengajukan diri bersaing sebagai pasangan raja dan menteri
perdana.
Kisah menjadi makin runyam ketika tokoh-tokoh golongan kiri—mereka
yang biasanya berbaris di sebelah kiri batang pisang berbondong-bondong
mengajukan diri untuk menjadi raja di Indraprasta. Dari Jayadrata,
Citrayuda, Dadungawuk, Padasgempal, hingga Sarpakenaka beramai-
ramai mendatangi istana.
“Setop! Setop!” Pak Bupati berteriak-teriak dari barisan terdepan para
tamu. Mukanya merah, malu tak terperi, karena ia berdampingan dengan
tokoh-tokoh terhormat dari provinsi.
“Ki Dalang, kenapa cerita tak keruan begitu?” semburnya.
“Saya juga tak mengerti,” sahut Ki Dalang.
“Bagaimana mungkin?”
“Lihat saja sendiri apa yang terjadi.”
Di pentas batang pisang, wayang-wayang berjalan, menari, dan berbicara
sendiri!
Tutup lawang sigotaka. (*)
Bumiayu, Oktober