Cerpen – Dua Sahabat

Dua Sahabat

Cerpen Karya: Y Agusta Akhir

Versi cetak Suara Merdeka 15 Maret 2015

Narator: Vera

download

 

Ia tampak lebih kurus ketika dia mengunjunginya. Kunjungan untuk kesekian dan tampaknya tak akan ada lagi setelah ini. Pendeknya, ini akan menjadi pertemuan terakhir bagi mereka.

“Bersisirlah,” ucap dia sembari mengulurkan sebuah sisir kepadanya. “Rapikan rambutmu, Kawan!”

Ia hanya memandang dia dengan tatapan tanpa gairah. Lalu katanya dengan nada yang amat pelan, nyaris tak terdengar, “Apakah masih perlu?”

Dia hanya tersenyum dan mengulangi ucapannya dengan setengah memohon. “Ayolah, Tuhanpun pasti akan tersenyum!”

“Bahkan ketika hidupku tinggal beberapa hari lagi?”

Dia mengangguk; masih tetap menyunggingkan senyum.

Entah karena gurauan itu atau dorongan lain, ia akhirnya mengambil sisir itu dari dia. Ia mulai merapikan rambutnya. Tanpa bercermin karena ruangan itu tak ada cermin. Tapi ia bisa merasakan rambutnya yang kusut dan kumal; ia lupa, kapan terakhir mengeramisi rambutnya.

Ketika ia mengembalikan sisir itu, dia semakin sadar, betapa pucat dan tak bergairah kawannya itu. Dia mafhum. Tapi hatinya ngilu juga. Lebih ngilu dari beberapa kali kunjungannya yang lalu.

Semula, dia tak tahu ia adalah kawannya. Dia membaca surat yang disampaikan kepadanya melalui petugas yang berwewenang. Ada sejumlah nama lengkap dengan biodata masing-masing. Dia membacanya. Dia merasa tak asing dengan nama itu. Tak mudah baginya untuk mencari tahu informasi yang lebih lengkap, demi meyakinkan hatinya perihal nama itu. Semula dia bimbang juga. Tapi dia tetap mengambil keputusan sebagaimana yang sudah dibuatnya. Dia menyesali hal itu. Tapi dia tahu, itu takkan merubah pikirannya.

“Bebaskanlah aku,” ucapnya masih dengan nada yang begitu lirih seolah hendak menunjukkan betapa hidupnya pantas untuk dikasihani. “Tidak sulit bagimu!”

Dia hanya menggeleng. Senyumnya masih juga, meski mulai samar.

“Mengapa?” kali ini suaranya sedikit lebih keras. “Aku kawanmu dan kau bisa melakukannya!”

Dia tetap menggeleng. Kali ini tanpa senyum. Tapi wajahnya tak menyiratkan apapun. Datar. Begitupun, ia tahu, gelengan kepala itu sulit diubah menjadi sebuah anggukan.

Ia tertawa.

“Jadi, untuk apa kau datang kemari, hah!”

“Tentu saja untuk menengok kawanku.”

“Ya, tentu saja begitu. Sebelum sebutir peluru menembus jantungku beberapa hari lagi!”

Keduanya kemudian saling diam. Membuat ruang berjeruji itu begitu senyap. Dia melihat jam di pergelangan tangan. Masih ada waktu, batinnya.

“Tak kusangka,” ia mulai membuka suara lagi. Kali ini dengan nada yang terdengar lebih santai dan akrab. “Kita bertemu dengan cara seperti ini. Kita masih saling menerima sebagai sepasang sahabat. Kalau dipikir aneh juga, ya?”

Dia tak menyahut. Hanya menatap lelaki di hadapannya itu dengan rasa sedih yang di sembunyikan jauh di dalam lubuk hatinya.

“Dan sampai saat ini,” ia melanjutkan, “kita masih berada di jalan yang berseberangan!”

Ia kemudian mengingatkan kembali kepada dia tentang masa-masa kecil mereka dulu. Ia mulai cerita dengan suaranya yang bahkan dinding di ruangan sempit itu tak sanggup membuatnya bergema.

“Masih ingat pak Wimbo?”

Dia mengernyitkan dahi. Kemudian berkata, “Gemuk dan galak!”

“Mirip anjingnya!”

“Dan kau saat itu memanjat pohon mangganya.”

Ia tertawa lirih.

“Anjing dan tuannya tak ada bedanya!”

“Aku melihat lelaki tambun itu keluar dengan sebuah tongkat setelah anjing piaraannya menyalak-nyalak. Untung saja dirantai. Kalau tidak, binatang itu pasti menungguimu di bawah! Dan sulit dibayangkan, tubuhmu yang ceking jadi bulan-bulanan orang tua itu, atau barangkali dicabik gigi anjingnya!”

“Tapi tetap saja aku terjatuh! Kau melihat kakiku berdarah. Sampai sekarang bekasnya masih ada.”

“Tapi kau masih juga bisa berlari!”

Ia diam sejenak. Terlintas di pelupuk matanya, bagaimana saat itu ia tersentak kaget mendengar orang tua itu meneriakinya maling sembari mengacung-acungkan tongkatnya. Dan betapa ia ketakutan ketika tahu orang tua itu dengan tergopoh mendekati pohon mangga yang ia panjat. Barangkali saking gugupnya, ketika ia buru-buru turun, malah terjatuh. Beruntung, ia masih bisa berlari, menghindar dari kejaran orang tua pemilik pohon mangga itu.

Ia tersenyum mengingat itu. “Terimakasih telah menyembunyikanku waktu itu. Kau, telah menyelamatkanku!”

Dia pun mengingat peristiwa itu. Dia belum pernah mengingat peristiwa itu seperti sekarang ini. Ya, peristiwa itu sebenarnya peristiwa biasa saja dan sekarang sedang berputar kembali dalam otaknya seolah baru beberapa hari lalu terjadi. Dan betapa dia dapat melihat lagi ketakutan di wajah kawannya itu.

Dia menyembunyikannya dari lelaki tambun si pemilik pohon mangga itu. Dia menunjukkan kepada orang tua itu arah yang salah sehingga enggan untuk melanjutkan pengejaran. Ketika ditanya apakah mengenal pencuri mangganya, dia mengatakan tidak. Padahal, kalau saja orang tua itu tahu bahwa pecuri itu adalah kawannya, bukan mustahil kawannya akan dilabrak sehingga orangtuanya pun akan ikut menghajarnya.

Sejak awal, dia memang sudah memperhatikan apa yang sedang dilakukannya dari teras rumah. Sebelumnya, dia sudah menegurnya. Tapi ia abai. Dia tahu, kawannya itu susah dikasih nasihat. Aksi itu bukan yang pertama. Dia juga tahu, ia sering melakukan di tempat lain. Tapi begitulah, mereka tetap saja menjadi kawan yang baik. Banyak juga orang heran. Karena itulah mereka menjuluki keduanya sebagai sepasang kawan ajaib.

Setelah lulus sekolah menengah, keduanya nyaris tak pernah bertemu. Tapi dia, sesekali masih mendengar kabarnya. Kabar yang sudah sering didengarnya sejak mereka masih kecil. Dia tak habis mengerti, bagaimana bisa seseorang konsisten dengan watak buruknya: mencuri, berjudi dan belakangan ini dia tahu, ia menjadi seorang bandar narkoba.  

“Apakah sekarang kau tak bisa melakukannya?”

Dia tersenyum.

“Ini bukan urusan mangga!”

“Tapi kau pun juga bukan lagi seorang anak yang penakut, cengeng, dan selalu berlari setiap diajak berkelahi!”

Dia merasa, pembicaraan sudah mulai bertambah serius. Dia pun ingin bicara lebih serius dan panjang lebar untuk menjawab apa yang ditanyakannya. Tapi ia pikir itu tidak perlu. Apalagi, jam kunjung sepertinya sudah habis. Seorang petugas dengan penuh hormat memberikan isyarat itu pada dia. Sebenarnya, bisa saja dia meminta agar diberikan waktu yang lebih lama lagi. Tapi dia tak sedikitpun ada niat ingin melakukannya. Sebab, bagaimanapun dia harus taat aturan.

“Hidupku tinggal beberapa hari lagi dan itu pun ada di tanganmu, Kawan?”

Mendengar itu, dia terenyuh juga. Tapi itu tak cukup mampu meluluhkan pendiriannya. Dia sudah membaca apa yang dilakukan kawannya itu. Dia meratap sedih ketika pertama kali mengetahui betapa parahnya ia.

“Maafkanlah aku yang tak bisa mengampunimu, Kawan!” kata dia. Meski tembok bui tak bisa menggemakan suaranya, tapi kalimat itu menggaung-gaung di gendang telinga ia. Dan betapa hati ia serasa remuk. Tapi ia segera menyadari – berkat naluri persahabatannya, tak mungkin memaksa dia. Diam-diam ia kagum pada dia. Rasa kagum yang belum pernah dirasakannya meskipun ia mengenal dia sejak kecil. Barangkali inilah saatnya aku membalas kebaikannya saat dia menolongku dari kejaran si pelit itu! aku takkan menyulitkannya! ucapnya dalam hati.

“Baiklah,” katanya kemudian. “Ini memang bukan urusan mangga!”

Saat itu, terdengar beberapa suara langkah mendekat. Ia bisa menerka, mereka pasti para sipir. Tapi ternyata salah. Atau tepatnya tak sepenuhnya benar. Mereka berempat; dua petugas sipir, dan separuhnya lagi berbaju mentereng lengan panjang, berpotongan cepak. Mereka memberi hormat pada dia yang segera membalasnya dengan gerakan kalem dan sunggingan senyum.

Dia kemudian menjabat tangan kawannya. Ia yang merasakan betapa hangat jabatan tangannya itu, melihat juga ada butiran kristal di mata dia. Ia pun mengira, menyimpan hal yang sama di matanya.

“Maafkan aku,” bisik dia.

Ia mengangguk dan membalas pelan, “Bukan urusan mangga!”

Ketika pintu jeruji besi kembali digembok dan langkah mereka mulai menjauh, samar ia mendengar,

“Apakah kita akan berkunjung ke tempat lain?”

“Tidak. Kita kembali ke Istana!”

Ia pun tersenyum, meski telah yakin kamatiannya memang benar-benar sudah dekat!***

 

Biodata:

 

Y Agusta Akhir adalah penikmat sastra dan aktif di komunitas sastra alit, Solo. Menulis puisi, cerpen dan novel. Beberapa karyanya berupa puisi dan cerpen pernah dimuat di harian joglosemar(Solo), Solopos (Solo), buletin sastra Pawon (Solo), antologi cerpen Waktu yang Bercerita dan Secabik jejak (Alit, Solo), antologi cerpen Joglo (TBJT Surakarta), dll. Novelnya yang berjudul Requiem Musim Gugur terpilih sebagai salah satu pemenang pada lomba Grasindo Publishers tahun 2013 dan Novel Kita Tak Pernah Tahu Kemanakah Burung-burung Itu Terbang menjadi juara III sayembara novel yang diadakan oleh UNSA Press tahun 2017.

Bagikan Postingan ini

Leave a Comment