Selamat Malam Dadong Sekar

Penulis :  Ninuk Retno raras
Versi Cetak : 8 Bahasa Cinta
Penutur : Ninuk Retno Raras

 

DOWNLOAD 

 

 Selamat Malam Dadong Sekar

Selamat malam, Dadong1 Sekar! Kata-kata itulah yang sangat  ingin  kuucapkan  malam-malam  begini.  Menatapnya sangat ingin tahu. Menikmati seringainya yang menakutkan oleh ludah sirih di bibirnya yang tidak lagi berhiaskan gigi. Kemudian    membiarkan    anganku    melayang    oleh    tatap matanya yang berbinar manis.

Manis.  Dadong  Sekar  memang  manis.  Bekas  penari arja2  itu masih mengesankan seorang primadona. Terutama bila melihat binar matanya yang bersinar tajam tetapi segera menyayu lembut. Owh! Indah sekali detik perubahan mimik muka itu.

Lakar kije, Gek3,” sapanya setiap kali aku melintasi halaman rumahnya yang luas.

Semula aku tak terlalu peduli dengan sapaannya. Seperti layaknya orang-orang di banjar4 kecil itu, aku dan juga teman-temanku yang lain saling menyapa sekadar melepas   kekakuan. Namun entah   karena apa, lama kelamaan aku jadi suka mendengar suara perempuan tua itu. “Lakar kije, Gek,” demikian selalu yang dilontarkan.

Entahlah, seolah dia tahu bahwa aku hanya mengerti kata- kata itu.

“Ke Bale Banjar5, Dadong,” sahutku.

Kulihat dia tersenyum. Tepatnya menyeringai dengan ompong gigi dan merah bibir karena ludah sirih. Lambat laun aku mulai ingin berhenti sejenak. Menyimak matanya yang tua namun masih teramat mengesankan dan melongok tempat sirihnya yang sederhana di lantai jineng6 tempat istirahatnya yang setia. Kemudian aku akan melintas diam- diam setelah tersenyum dan mengangguk.

Beli7 Mang tak suka bila aku terlalu banyak bertanya tentang Dadong Sekar. Begitu juga Latri dan orang-orang di sekitar banjar kecil itu.

“Aku bosan dengan pertanyaanmu itu. Mengapa orang setua itu membuatmu tertarik. Ah, sudahlah. Simak murid-muridmu itu.”

Aku benci sekali kalau Latri dan beli Mang mulai memberengut. Aku jadi sebal untuk turut mengajar melek tri buta8 di bale banjar. Biasanya kalau aku mulai malas memperhatikan murid-murid, mereka lantas menjanjikan sesuatu.

“Besok ke sanalah kau. Dadong Sekar orang yang kesepian. Mainlah ke sana, ke rumahnya yang punya halaman sangat luas, tapi tanpa penghuni lain itu.”

Anehnya, biasanya aku jadi lega mendengarnya. Kemudian semangatku pun muncul kembali. Dadong Sekar. Ya, Nenek Sekar. Entah berapa puluh tahun umurnya. Tampak sudah teramat renta. Kecuali matanya. Ya, hanya matanya. Kulit tubuhnya yang keriput dengan tulang-tulang yang menonjol di sana-sini menandakan betapa panjangnya waktu yang telah dilewatinya. Kakinya tidak bisa dikatakan ramping lagi. Juga tidak kurus. Usia telah membuat kakinya jadi bengkak. Lebih-lebih kerja keras masih  kerap dilakukan. Aku sungguh tidak tahu bagaimana dia memperoleh makanan sehari-hari. Tentunya dia tidak terus- terusan hidup dari belas kasihan tetangga dekatnya.

Halaman itu teramat luas untuk ukuran rumahnya yang kecil buruk dengan sebuah jineng dan sanggah9. Di depan terentang pagar tanaman puring dengan gapura dari batu bata. Pohon cempaka, kenanga besar, serta tumbuh- tumbuhan hutan menaungi dengan lebat. Nyaris  gelap saking rimbunnya. Sedangkan jauh di belakang, hutan bambu melingkupi kandang kosong beratap daun ilalang. Sepintas tampak angker oleh suasana sunyi. Namun pada siang-siang yang gerah, duduk di jineng tentu nyaman sekali. Ketika memasuki halaman, untuk pertama kali aku memperhatikan keseluruhannya.   Bukan sekadar  lewat memintas seperti kalau aku menyusul Beli Mang dan Latri ke Bale Banjar. Suasana sunyi segera menyergapku. Rumah itu sangat tidak terpelihara. Seperti sudah amat lama tak ditempati penghuninya. Padahal ada sosok hidup di sana. Seorang nenek renta yang walaupun hidup sendiri, pernah berjaya sebagai primadona arja. Tentu dulunya dia sangat dipuja-puja para lelaki. Tentu para lelaki di banjar-banjar sekitar gandrung padanya. Ah, surga macam apa yang pernah ditempati Dadong Sekar jaman dulu? Kapan? Dulu sekali, pastinya. Ketika arja dan penari cantik masih menjadi bagian paling penting dari hiburan murah meriah di banjar-banjar kecil macam Pangkung Jajang.

“Dadong!  Dadong  Sekar!”  teriakku  di  depan  pintu rumahnya  yang  tak  tertutup.  Kujenguk  ke  dalam.  Kosong. Tak ada barang berharga sebuah pun yang patut dilindungi. Hanya  sebuah  amben10  bambu  dan  lemari  kayu  tua,  entah berisi  apa.  Beberapa  keranjang  teronggok  di  pojok  lantai tanah.  Sepertinya  berisi  pisang  yang  diperam  atau  buah kelapa  berdebu saking kering dan terlupa.

“Dadong! Dadong Sekar!” teriakku lebih keras. Kini aku menuruni rumah. Melongok ke belakang. Benar.  Sesosok tua terbungkuk-bungkuk menghampiri rumah. Dia belum melihatku. Matanya terpaku ke tanah.

“Dadong!” jemputku. Dia kaget. Berhenti dan menatapku dengan matanya yang manis. Sejenak tergugu. Sekilas tersenyum dengan bibirnya yang merah ludah sirih.

Ragane11,  Ni?  Gek?”  sapanya.  Suaranya  serak  tua. Nampaknya sudah teramat lama tidak berbincang-bincang.

“Kubawakan makanan untukmu, Dadong,” kataku sambil menunjuk kotak yang kubawa.

Dadong Sekar menatap. Matanya ingin berbicara banyak. Lalu mengalunlah telaga di dalamnya. Beriak-riak. Lantas tangannya mengusap dahiku. Aneh. Aku jadi sangat gemetar. Usapan itu serasa menyihirku. Nikmat dan lembutnya terasa aneh. Aku sungguh belum pernah mengalaminya.

Sejak itu aku sering berkunjung ke rumahnya. Bahkan sesekali aku tak ikut mengajar Beli Mang dan Latri mengajar hanya karena aku kangen memijiti kaki bengkak dan tangan tua Dadong Sekar. Percakapan kami memang sangat terbatas. Aku tak banyak mengerti bahasanya. Demikian pula dia. Namun aku jadi pendengar setia ceritanya. Dadong nampaknya mengisahkan masa lalunya yang manis. Ya, aku tahu dari binar matanya. Juga isyarat-isyarat tangannya. Sesekali dia mengajakku jalan-jalan memutari halamannya. Rupanya dia sedang bercerita tentang kekayaannya dulu. Tentang ternak babi dan kerbau yang kini tinggal kandangnya, juga tentang ladang vanili yang kini sudah jadi milik orang.

Sampai suatu ketika dia mengajakku memasuki rumahnya yang pengap. Ditunjukkannya sebuah lemari kayu tua di samping tempat tidur reotnya. Sejenak dia menatapku dengan tajam. Dengan mata penari arja. Aku bergidik sejenak. Dan sekali lagi aku gemetar tatkala dia mengusap dahiku. Usapan penuh daya magis yang membuatku tak bisa mengelakkan perasaan terikat.

Kemudian kulihat Dadong Sekar membuka lemari kayunya. Dengan sikap yang khidmat dikeluarkanlah sebuah kotak kayu berukir dari dalamnya. Mataku tak berkedip karena takjub. Debu disibakkan. Sekali lagi mataku diteliti, lalu diajaknya aku duduk di amben. Aku tak menangkap pengertian apa pun dari yang ia bicarakan. Suaranya tiba- tiba jadi lirih, lalu mata tua itu basah ketika kotak di pangkuannya terbuka.

Aku terbelalak kaget. Kotak itu ternyata berisi perhiasan tari yang kilatnya sudah pudar saking lamanya disimpan. Kutatap Dadong Sekar dengan haru. Dia memperagakan perhiasan itu satu persatu. Hiasan kepala, hiasan sanggul, giwang, gelang dan klat lengan. O, betapa berbinarnya mata itu. Bibirnya tertawa-tawa. Menandakan betapa indahnya surganya dulu.

Aku seperti melihat kesedihan mendalam ketika dia mulai menutup kotak itu kembali. Dia menimangnya sejenak, lalu menatapku penuh kasih. Sebelum sempat aku melepaskan diri dari pesona magis bekas penari arja itu, tiba-tiba kulihat kotak itu terulur padaku. Aku sangat terkejut. Tapi Dadong Sekar memaksaku menerimanya.

“Untukku, Dadong? Ini untukku?”

Dadong Sekar menuding dadaku. Kemudian dadanya sendiri. Aku tahu dia ingin aku menyimpannya seperti dia pernah menyimpannya. Ya, tentu dengan kasih dan penghargaan yang sama.

Tiba-tiba mataku terasa panas. Betapa Dadong Sekar mempercayaiku untuk menyimpan kenang-kenangan yang paling berharga dalam hidupnya. Apakah Dadong Sekar merasa bahwa hidupnya tidak akan lama lagi?

“Akan kusimpan, Dadong. Akan kusimpan baik-baik,” bisikku hampir menangis. Aku belum pernah mendapat kepercayaan yang besar dan mengharukan seperti saat itu. Lebih-lebih Dadong Sekar bukan apa-apaku.

Selamat malam, Dadong Sekar! O, betapa ingin aku mengucapkan kata-kata itu. Kata-kata yang hampir selalu kuucapkan tiap kali bertemu dengannya, ketika aku melintas jalan menuju Bale Banjar. Matanya yang manis akan berbinar menatapku di bawah lampu minyak yang suram. Dan bibirnya yang merah ludah sirih akan berdecak-decak mencicipi makanan yang kubawa.

Pernah suatu kali aku gelisah karena tak berhasil menemuinya. Beli Mang bilang, mungkin Dadong Sekar diajak ke rumah kenalannya di banjar seberang. Tapi aku tak percaya sama sekali. Mengajar tri buta sama semakin membosankan tanpa melihat Dadong Sekar di pojok jineng rumahnya yang selalu kulewati.

“Sudah tiga hari, Beli,” gumamku di tengah kesibukannya mengajar.

“Masih tiga hari, dan kau sudah ribut,” gerutu Latri.

Aku bosan sekali. Gelisah tepatnya. Malam-malam menyimak pengikut tri buta terasa menyedihkan. Aku takut Dadong sakit dan tak ada yang tahu. Ah, kenapa aku tak menjenguknya lagi? Tiba-tiba mataku tertuju pada ambang teritis di belakang para pelajar baca tulis. Aku tertegun tak percaya. Dadong Sekar melongok-longok mencari sesuatu. Aku gembira bukan main. Aku bergegas menemuinya. Melewati orang-orang yang sesak duduk di lantai. Kutemui Dadong Sekar dengan perasaan haru. Aku benar-benar tak menghiraukan tatap mata benci yang seketika terpancar dari mata hampir semua orang.

Dadong Sekar ternyata baru saja kembali dari banjar seberang jalan besar. Seorang kenalannya mengajaknya menginap untuk menyaksikan perayaan kecil keluarganya. Diulurkannya oleh-oleh padaku. Jajan. Panganan yang terasa manis dan aneh di lidahku, tapi tetap kutelan saking inginku menyenangkan hatinya. Kurasakan kasih yang besar mengaliriku. Mengaliri seluruh tubuh dan sukmaku. Kasih dan ketulusan Dadong Sekar yang disisihkan banyak orang.

“Aku tak malu bergaul dengan nenek kotor itu, mengapa kalian mesti ribut? Kemarin-kemarin kalian diam saja,” gerutuku pada Beli Mang dan Latri ketika mereka menegurku.

“Kau terlalu sering berada di rumahnya. Seluruh penghuni banjar tahu itu.”

“Lalu apa salahnya? Kalian juga yang dulu mengijinkan untuk sesekali bermain ke rumahnya.”

“Yo, kau tahu latar belakang kotor Dadong Sekar, kan? Dia penari arja yang pada masa jayanya suka membuat rumah tangga orang porak poranda.”

“Itu dulu! Lalu apakah kini kau hendak menghukumnya? Kejam nian. Penderitaan dan kesepian telah menghukumnya, Latri. Kita jangan ikut-ikutan. Dia sudah merasakan kepahitan hidupnya. Dia cukup sakit. Apakah kau kira dia tidak menyadari kekeliruannya dulu? Berpikirlah yang wajar. Yang lalu biarkan berlalu. Dendam orang-orang tua jangan membuat kita ikut menutup diri.”

“Kau akan ikut tidak disukai penduduk di sini.”

“Aku tak peduli. Aku justru ingin menunjukkan pada mereka bahwa Dadong Sekar memerlukan pengampunan.”

Latri menunduk. Beli Mang terdiam tanpa mengalihkan tatapan.

“Sebenarnya aku juga kasihan padanya. Tapi melihat matanya aku selalu ngeri, Yo. Aku ingat mata perempuan tukang main guna-guna. Penuh kesan magis dan mendirikan bulu roma. Aku jarang lewat rumahnya. Tidak sepertimu.”

“Latri, Dadong Sekar penuh kasih sayang. Dia pun rindu memberikan kasihnya kepada orang lain dengan cara yang wajar. Bukan dengan cara guna-guna. Dia rindu hadirnya anak, cucu, juga hadirnya orang lain yang memperhatikan dirinya. Guna-guna itu tentu sudah menjadi masa lalunya. Kini dia tua dan tak berdaya.”

Latri menghela napas. Beli Mang mendesah. Aku sesak menahan rasa sebal.

Aku sendiri menghargai hadirnya Dadong Sekar dalam kehidupanku. Mereka tidak tahu bagaimana bahagianya mendapatkan kasih sayang dari seseorang. Aku, Yohana, yang besar tanpa perhatian. Dan kini merasa berbunga- bunga karena menerima perhatian dari orang lain. Yohana yang tiba-tiba merasa hidup karena kehadirannya dibutuhkan orang lain. Bagiku itu kebahagiaan yang luar biasa.

Selamat malam, Dadong Sekar! Kuingat pojok jinengmu yang redup oleh lampu minyak. Bergantung tak terlalu tinggi dan berayun-ayun tatkala angin berhembus agak keras. Kuingat kau duduk di bawahnya sambil menumbuk sirih dan sesekali matamu menatapku sambil melontarkan seringai tuamu. Obrolan kita sering kali amat panjang, meski tak sepenuhnya kita mengerti.

Entah kenapa aku sering merasa khawatir pada nenek tua itu. Pernah ketika malam-malam hujan turun deras, aku gelisah tak karuan. Kubayangkan rumah buruknya itu bocor dan air mengucur membasahkan seluruh isinya. Kubayangkan Dadong Sekar sendirian di pojok kamar dengan tubuh menggigil dan mata basah.

“Latri, Beli Mang sudah tidur?” “Kayaknya masih belajar. Ada apa?”

Aku tak menjawab. Kuhampiri kamar Beli Mang segera. Kuketuk pintunya. Tak berapa lama pemuda tinggi besar itu keluar.

“Ada apa, Yo?”

“Beli Mang mau mengantarku ke rumah Dadong Sekar?”

Kulihat pemuda itu kaget. Dari sinar lampu kamarnya kulihat alisnya bertaut.

“Ada apa?”

Kuarahkan pandanganku ke luar. Hujan sangat deras sehingga tampiasnya terasa di wajah.

“Perasaanku tak enak. Aku takut rumahnya kebanjiran,” keluhku perlahan.

Beli Mang menatapku tajam. Ada keengganan di dalamnya. Tapi aku tak perduli.

“Ayolah, Beli. Sebentar saja.” Dan kami berangkat berpayung menyusuri jalan tanah yang becek. Gelap tanpa lampu. Di tikungan-tikungan bergapura semerbak oleh harum bunga canang menghantarkan suasana angker. Kuperketat rangkulan tanganku ke lengan Beli Mang. Dia merapat maklum.

“Apa yang membuatmu begini nekad, Yo?” bisiknya di sela-sela deras hujan.

“Entah. Aku tak bisa tenang memikirkan hujan deras begini. Bagaimana kalau rumah Dadong Sekar bocor? Dia akan kedinginan, Beli.”

“Mengapa kau begitu sayang padanya?”

Mengapa aku begitu sayang padanya? Ya, mengapa? Aku sendiri tak tahu dengan pasti. Perasaan itu datang begitu saja.

“Apakah dadong Sekar mengingatkan akan nenekmu?”

Aku tertegun. Nenek? Aku tak pernah merasakan punya seorang nenek. Dan kukira aku tidak merindukannya.

Ah, selamat malam Dadong Sekar! Begitu kuucapkan ketika kakiku menapak lantai rumahnya yang terbuat dari tanah. Sepi tak terdengar suara apa pun kecuali deras hujan. Aroma tajam jerami yang basah singgah di penciumanku.

Betapa kuingat tubuh dan wajahnya ketika dia kami temukan di pojok rumahnya yang gelap. Kuingat pekiknya yang menandakan kaget girang tak terkirakan. Matanya seperti biasanya, manis. Namun ketika itu bersaput alun air.

Aku begitu gembira ketika melihatnya tak kurang suatu apa pun. Lega melihatnya tetap kering meski sekitar basah oleh bocor dan tempias air yang masuk.

“Dadong tak kurang suatu apa pun, Beli!” teriakku senang.

Beli Mang seperti baru menyadari kebahagiaanku. Dia menggenggam tanganku sangat erat. Satu hal yang telat kusadari bahwa perasaan Beli Mang mengaliri sanubariku. Aku tidak tahu mengapa aku seperti terikat oleh keberadaan Dadong Sekar. Dia tidak istimewa. Dia kotor. Dia dikucilkan. Tapi betapa aku serasa memilikinya. Dan itulah yang akhirnya kupilih. Menemani Dadong Sekar meskipun hampir semua orang melihatku dengan sebelah mata. Tidak. Mereka tak bisa disalahkan. Mereka telanjur percaya bahwa bergaul dengan orang semacam Dadong

Sekar akan mendatangkan sial.

Tapi bagiku Dadong Sekar tak pernah mendatangkan sial. Dadong Sekar bahkan membuatku bahagia. Dan mungkin yang tak pernah terlintas sebelumnya adalah tentang Beli Mang. Lelaki pendiam dan acuh tak acuh itu kurasa mulai memperhatikan Dadong Sekar. Sungguh, aku takjub ketika untuk pertama kali melihat mata angkuh itu menatap Dadong Sekar dengan kasih sayang.

“Aku senang Beli Mang mau sesekali menengok Dadong Sekar,” kugenggam tangan Beli Mang sebelum kakiku melangkah ke dermaga. Beli Mang menatap mataku lembut. Mata yang akhirnya membuatku jatuh cinta. Mata yang mampu membagi kebahagiaan pada orang lain. Bukan mata yang memenjarakan cintanya sendiri.

“Iya. Kalau aku libur dan pulang ke kampung, akan kusempatkan menengok Dadong Sekar, Yo. Kau sendiri kuharap akan lebih sering kangen banjar kita yang kecil itu.”

“Tentu, Beli. Tentu.”

Dan terbayanglah banjar kecil yang begitu kucintai seperti aku mencintai sebagian dari isinya. Rumah-rumah berhalaman luas dengan jarak yang cukup jauh. Jalan-jalan desa yang becek dan lembap dengan gapura-gapura penuh bunga canang. Aku ingat irama petani dan lenguh kerbau dan suara babi serta ayam-ayam di sepanjang rimbun gerumbul bambu. Kudengar kembali rasanya anak-anak yang bermain di sekitar jineng atau di sepanjang kali Tukadaya yang tak jarang tinggal tampak pasir dan batu- batunya saja. Tentu kurindukan Latri dan keluarganya. Lalu Beli Mang dan Dadong Sekar.

Oh, Selamat Malam Dadong Sekar! Kata-kata itulah yang sangat ingin kuucapkan malam-malam begini. Menatapnya penuh rasa ingin tahu. Menikmati tawa seringainya yang merah oleh ludah sirih di bibirnya, lalu membiarkan anganku melayang oleh tatap matanya yang berbinar manis. Manis. Dadong Sekar memang manis. Bekas penari arja itu masih tetap mengesankan seorang primadona. Matanya yang bersinar dan menyayu kemudian, bukan lagi mata genit. Tempo hari mata itu basah dan melahirkan anak sungai yang jernih.

Tiyang lakar pamit12, Dadong. Saya hendak pulang.” Kata-kata  itulah  yang  kuucapkan  ketika  hendak  berangkat. Dadong   Sekar   mengerti   aku   hendak   meninggalkannya sendirian  menghabiskan  sisa  hari-harinya.  Mata  tua  yang basah itu memandangiku penuh sayang. Lalu tangan tuanya yang  renta  terangkat  mengelus  dahi  dan  pipiku.  Bibirnya yang  yang  kecil  merah  ludah  sirih  itu  bergetar  menyebut namaku. Lirih dan parau. Dan untuk pertama kalinya aku menangisi sebuah perpisahan.

Selamat malam, Dadong Sekar!

Entah  apa  yang  kini  sedang  terjadi  denganmu.  Tiba- tiba  jiwaku  tak  tenteram  mengingatmu.  Masih  ada  waktu beberapa  bulan  lagi  untuk  merayakan  Galungan.  Dan  aku ingin   menjengukmu.   Sangat   ingin   aku   membimbingmu sembahyang  ke  sanggah13   belakang  rumah.  Membawakan sesajian    dan    bunga    canang    sari.    Dan    bila    mungkin mengajakmu ke pura agung menaruh sesajian bersama Latri dan  Beli  Mang  yang  tentu  mulai  manis  kepadamu.  Ah, Dadong. Tapi mampukah kau bertahan menungguku dengan sisa kerentaanmu?

Selamat malam, Dadong Sekar.

Asrama ini telah sunyi oleh larut malam. Betapa aku merasa sendirian dan kesepian. Selamat malam, Dadong Sekar. Selamat malam. []

 

 

Keterangan:

  1. dadong: nenek
  2. arja: pertunjukan khas Bali
  3. lakar kije: mau kemana
  4. banjar, wilayah setingkat padukuhan di jawa
  5. bale banjar: balai padukuhan
  6. jineng: semacam gazebo di depan rumah, atau di halaman
  7. beli: panggilan untuk kakak laki-laki
  8. melek tri buta : gerakan pemberantasan 3 buta (aksara, angka, pengetahuan umum)
  9. sanggah : tempat sembahyang di halaman rumah
  10. amben ; tempat tidur terbuat dari kayu/bamboo
  11. ragane: kamu
  12. tiyang lakar pamit: saya hendak pulang

 

Bagikan Postingan ini

Leave a Comment