Cerpen – Nona Pru, Suri, dan Kematian Hans

NONA PRU, SURI DAN KEMATIAN HANS

Cerpen Karya: Linggar Rimbawati

Narator: Abednego Afriadi

download

 

     Hans ditemukan mati di kamarnya. Terbaring di atas ranjang pada sisi kanan, seolah tidur. Bahkan selimutnya dengan rapi menutupi tubuhnya sebatas leher. Tidak ada ekspresi kesakitan atau tegang pada wajahnya. Matanya terpejam sempurna seperti ketika kau tidur.

     Kabar kematiannya menyebar ke seluruh kota hanya dalam setengah hari. Orang-orang berdatangan untuk menyampaikan belasungkawa, atau untuk berpantas-pantas saja. Tapi beberapa orang datang untuk menertawainya, sekalipun ejekan itu disembunyikan di balik muka sedih dan basa-basi penghibur yang berlebihan.

     Nona Pru juga datang melayat, dengan gaun dan sepatu hitam. Meskipun tidak tahu ia datang sebagai siapanya si almarhum. Ia bukan temannya, anak buahnya, atau tetangganya. Ia hanya seseorang yang kenal mendiang. Perkenalan itu bahkan terjadi berabad-abad yang lalu. Setelahnya tidak terjadi sesuatu yang berarti…

     Nona Pru memarkir Ford Angila tua merahnya di tepi jalan beberapa rumah dari rumah duka. Perempuan setengah baya itu tidak keberatan untuk sedikit berjalan kaki meskipun penyakit rematik membuat langkahnya tidak segesit dulu. Dulu, ketika ia masih seorang  gadis muda yang lincah bagaikan kijang. Ia juga sedikit gamang ketika langkahnya semakin dekat dengan rumah duka yang mulai dikemurmuni orang-orang, mengingat tak ada seorangpun yang ia kenal dan mengenalnya di sana. Satu-satunya orang yang ia kenal dan mengenalnya di rumah itu sudah mati. Jadi, sebenarnya ia datang untuk menyampaikan belasungkawa kepada siapa?

     Hampir saja ia memutar langkah untuk kembali ke mobilnya. Tapi suatu tekad di hatinya mengatakan bahwa ia harus datang dan melihat lelaki itu untuk terakhir kalinya. Itu bukan satu-satunya hal yang menahan langkahnya untuk pergi. Sepasang mata Nona Pru menangkap sebentuk senyum dari seorang gadis keriting berwajah manis ketika ia berhasil menyebrangi halaman dengan kaki rematiknya yang payah.

     Bagaimanapun, sedingin apapun hatinya, Nona Pru tetaplah merasa sedikit terharu, juga heran; ada seseorang yang tersenyum padanya di tempat ini sementara orang-orang, seperti juga dirinya, memasang wajah datar dan acuh tak acuh, seoah-olah mereka adalah robot. Kau tahu, wajah tanpa ekspresi dan tak peduli.

     “Saya bisa mencarikan Anda kursi, Bu”

     Kini rasa haru dan heran Nona Pru bertambah satu derajat. Anak itu berbicara padanya. Ah, mungkin gadis ini anak atau kerabat lelaki yang mati itu. Tapi kalau ya, bukankah seharusnya ia ada di dalam, meratapi jenazah ayah atau pamannya? Bukan di luar sini, berbicara pada pelayat asing tak dikenal dengan memasang senyum jenaka pada wajahnya yang nakal…

Nona Pru hanya sempat mengangguk mengingat kakinya sudah begitu pegal. Ia berhasil menjangkau sebuah kursi kosong dan duduk di antara pelayat-pelayat lain kemudian mulai sibuk mengelus-elus lututnya. Setelah selesai dengan urusan kaki tuanya ia mengangkat wajah dan mengedarkan pandang mencari-cari sosok gadis aneh yang menolongnya. Begitu banyak orang dengan pakaian sama di ruangan ini. Tak heran Nona Pru kesulitan menemukannya. Bahkan hingga akhir acara ia tak bertemu lagi dengan gadis itu.

***

     Terbangun oleh cericit burung-burung gereja, Nona Pru menggeliat di atas dipannya yang membelakangi jendela. Ia tak perlu khawatir telah bangun lebih siang daripada biasanya. Ini hari Minggu. Hanya orang-orang yang terlalu serius dan terus-terusan cemas yang bangun pagi-pagi di hari libur. Nona Pru berencana untuk tidak melakukan apa-apa dan tidak memikirkan apa-apa hari itu. Kalau tidak harus bekerja Nona Pru lebih suka menghabiskan hari-harinya di rumah saja. Membaca buku, mendengarkan musik atau tidur.

     Orang aneh seperti Nona Pru kadang-kadang sulit diterima oleh orang-orang. Yah, orang-orang memang payah. Kebanyakan dari mereka tidak berhati tulus. Mereka tidak bisa membiarkan seorang wanita tua lajang yang hidup sendirian yang mengendari Ford Angila tua berwarna merah lewat begitu saja tanpa pertanyaan-pertanyaan. Nona Pru sering mendengar mereka kasak-kusuk di belakang punggungnya dan ketika ia berbalik orang-orang itu terdiam, gelagapan, meskipun tidak berhasil menyembunyikan ekspresi mengejek di wajah licik mereka. Mereka tidak bisa berpura-pura tidak bahagia menemukan olok-olok di depan mata.

     Jadi, alih-alih bangun pagi-pagi di hari Minggu dan berolahraga di taman sambil menyapa orang-orang, Nona Pru memilih menghabiskan paginya di dapur dengan secangkir teh krisan dan setumpuk buku yang dibawanya dari tempat kerja. Ia tidak ingin berbicara kepada siapapun kecuali dirinya sendiri dan kepada tokoh-tokoh di buku yang dibacanya. Sudah cukup baginya berbicara kepada pengunjung perpustakaan dari hari Senin hingga Sabtu.

     Tapi rencana bersenang-senangnya itu nyatanya harus terganggu oleh ketukan di pintu. Nona Pru mengernyit. Bahkan tehnya belum ia sentuh. Ah, mungkin itu sales yang menawarkan alat pemijat punggung elektronik atau pegawai asuransi yang menawarkan janji-janji omong kosong. Satu-dua kali ketukan, Nona Pru mengabaikan. Ia tidak pernah punya tamu kecuali para sales dan pegawai asuransi. Tapi ketukan itu terus berlanjut dengan tempo yang semakin cepat. Mungkin ia tipe sales yang gigih, pikir Nona Pru.

     “Selamat pagi,”

     Wajah itu mendongak dan Nona Pru terkejut meskipun ia juga terpesona sekaligus. Ia gadis aneh yang menolongnya mendapatakan kursi di prosesi pemakaman seminggu yang lalu. Penampilannya terlalu eksentrik untuk ukuran lingkungan yang menyukai baju-baju elegan. Gadis itu mengenakan gaun hitam selutut yang potongannya kelewat lurus sehingga ia tampak memakai selembar karung. Dan ujung sepatu bootsnya kelewat runcing dan mencolok. Nona Pru tidak pernah melihat orang berpakaian seperti ini kecuali dirinya sendiri sewaktu muda dulu. Begitu terperangahnya ia sampai-sampai tak sempat bertanya-tanya bagaimana gadis itu tahu alamatnya.

     “Tanaman Anda perlu disiram,” gadis itu menoleh ke sekeliling. Menunjuk tanaman labu yang hampir layu dengan dagunya yang lancip, “dan saya juga punya begonia seperti itu,”

     “Kau…di sini?”

     “Boleh saya masuk? Maukah Anda mengundang saya masuk untuk secangkir teh krisan?”

     Nona Pru masih gelagapan saking bingungnya tapi ia menggeser tubuhnya untuk membiarkan gadis itu melewati ruang tamu.

     “Ah, rumah ini indah…” gadis itu begitu lincahnya berjalan-jalan menengok tiap ruangan seolah sedang melakukan tur di museum. Rambut keriting sebahunya bergoyang-goyang selagi ia berjalan cepat-cepat. Dengan jengkel Nona Pru mengikuti tamu kecilnya, “Nenek juga punya meja marmer seperti itu,”

     “Maukah Anda membuatkan secangkir teh krisan? Saya tidak suka yang terlalu manis, tolong,”

     Nona Pru melipat bibir hingga menjadi sangat tipis. Ia tuan rumah di sini tapi diperintah-perintah oleh tamu asing yang datang tanpa diundang.

     “Duduk lah, akan kubuatkan teh krisan dan sepiring biskuit untukmu,”

     Gadis itu menurut dan duduk di kursi baca di dekat perapian dan mulai memilih-milih tumpukan buku di atas meja di sampingnya. Nona Pru mengernyit. Itu kursinya. Dan belum pernah ada yang menyentuh buku-bukunya. Tapi toh dia meraih cangkir porselen dari atas rak dan mulai menyeduh teh.

     “Hey, cangkirnya sama persis seperti yang saya punya,”

     “Ya, mereka mencetak jutaan cangkir yang sama motif dan modelnya. Nah, minumlah,”

     Gadis itu menerima cangkir teh beserta tatakannya dengan mata bersinar-sinar dan mulai meniup-niup tehnya. Nona Pru terpesona. Dulu sekali ia pernah punya sepasang mata cermerlang seperti itu dan cara gadis itu meniup tehnya amat mirip dengan kebiasaannya. Dagunya juga lancip seperti itu sewaktu ia masih kurus.

     “Siapa namamu?” tanya Nona Pru dengan nada seolah menyambar satu hal yang terlupakan di kepalanya.

     “Suri,”

     Nona Pru merasakan dadanya seperti tersengat aliran listrik. Campuran antara kaget dan senang. Ia ingin bertanya bagaimana gadis itu tahu tempat tinggalnya tapi kemudian memutuskan pertanyaan itu sudah tidak penting lagi.

     “Kenapa kau ke sini?”

     “Saya ingin bicara tentang Hans,” gadis itu mengangkat wajahya dari cangkir teh dan menatap Nona Pru tanpa basa-basi, tanpa tedeng aling-aling.

     Alih-alih terkejut, barangkali Nona Pru sudah tak bisa menerima kejutan atau malah sudah terbiasa dengannya, wajah Nona Pru tampak sedih.

     Gadis itu mengangguk. “Saya mengenalnya sebagaimana Anda mengenalnya,”

     Mereka bertatapan beberapa detik. Hening di antara mereka. Kesiur angin lewat, menggoyang-goyang tangkai bunga lilac dan hamparan rumput yang belum dipotong sedang berjemur seperti menikmati matahari terakhir.

     “Itu sudah lama sekali. Dan aku tidak berharap dia mati duluan…” airmata Nona Pru menitik.

     Suri melorot dari kursinya dan menghampiri Nona Pru. “Saya tahu,” gumamnya, “dia yang meminta saya untuk membunuhnya,”

     “Begitu? Kenapa?”

     “Gadis-gadis dan wanita cantik tidak lagi membuatnya bahagia. Dia tidak bisa membuat dirinya bahagia,”

     “Kasihan…” Nona Pru menyusut airmatanya dengan selembar tissu yang disambarnya dari kotak di atas meja, “orang seperti dia memang gampang menderita,”

     “Dia bukan siapa-siapa..” Suri masih bicara dengan suara menggumam, “bukan apa-apa.. Hanya seorang lelaki tua dengan lubang besar di hatinya. Tak punya apa-apa,”

     Nona Pru tersenyum kecil di antara kesibukannya membersit hidung. “Nah, ceritakan bagaimana kau mengakhiri hidup Hans,”

***

     Minimarket itu punya nama yang aneh. Ling Ling Mart. Barangkali pemiliknya adalah seorang imigran dari China. Saya suka bunyinya. Harga mi ramen di sana juga murah. Dan malam itu sangat dingin karena gerimis yang tak habis-habis sedari sore. Saya ingin secangkir kopi dan semangkuk mi ramen untuk menghangatkan perut. Malangnya tak ada lagi mi ramen dan apapun yang bisa dimakan di dalam kulkas. Norah dan Laura pasti sudah menggasak habis isi kulkas ketika mereka menginap kemarin lusa. Dasar gadis-gadis rakus.

     Sambil mengumpat kecil saya memasukkan kaki ke dalam celana jins dan mengenakan sweater harna hijau muda yang cerah. Minimarket itu agak jauh dari rumah kotak saya sehingga saya harus mengenakan sepatu yang tebal alih-alih sandal biasa kalau tidak mau kedinginan sepanjang jalan.

     Jalanan cukup ramai meskipun orang-orang tak saling menyapa, tak saling bicara. Semua sibuk dengan kedinginan masing-masing. Sepasang kekasih memasuki kafe sambil bergandengan dalam diam meski mata mereka memancarkan gairah. Saya berhasil mencapai minimarket itu dan mendorong pintunya. Penghangat ruangannya bekerja dengan baik dan musik pop mengalun pelan dari suatu sudut. Secara otomatis seolah robot seorang kasir mengucapkan selamat datang begitu saya masuk. Saya tidak membalasnya karena itu akan terlihat konyol. Saya akan terlihat seperti orang bodoh. Kasir itu juga tak mengharapkan balasan selamat malam dari pengunjung.

     Saya menyusuri lorong di mana segala jenis mi instan dan saus berderet dengan rapi di rak-rak. Memilih-milih seraya berpikir-pikir malam ini saya mau makan mi yang buatan China atau Korea atau Jepang meskipun rasanya sama saja. Akhirnya saya memasukkan dua bungkus mi ramen China dan sebungkus mi ramen Korea ke keranjang belanja. Saya juga menyambar beberapa bungkus kopi instan dan beberapa bungkus roti dari rak yang berbeda.

     Tidak banyak pembeli malam ini sehingga saya tidak perlu mengantre lama. Di depan saya hanya ada seorang laki-laki dengan jins biru dan jaket tebal berbahan kaus berwarna abu-abu. Saya sempat melongok dari bahunya barang-barang belanjaannya. Sebungkus besar roti manis, beberapa kaleng kopi dan bir dan dia baru saja meminta sebungkus rokok. Kasir menghitung semuanya, mengatakan sejumlah angka dan tangan lelaki itu yang tadinya berada dalam saku jins-nya tejulur dan dengan cepat menyambar beberapa bungkus kondom di samping mesin kasir dan meletakknannya di hadapan petugas kasir tanpa berkata-kata.

     Saya merasa geli. Dilihat dari rambutnya yang kelabu lelaki ini sudah tidak muda dan dia seorang perokok. Tapi, lelaki memang suka bercinta, sebagaimana perempuan. Apalagi di malam gerimis begini. Siapapun pasti mudah merasa kesepian. Saya sama sekali tidak menyalahkan laki-laki itu meskipun dalam hati menebak orang yang akan ditidurinya malam ini pasti bukanlah istri sah-nya.

     Setelah selesai dengan urusan belanjanya lelaki itu dengan cepat berbalik dengan tidak sabar sehingga ia hampir saja menabrak saya. Aroma parfum yang maskulin menguar dari tubuh lelaki ini.

     “Maaf, “ katanya singkat.

     Saya tidak begitu peduli sebagaimana dia yang tidak benar-benar menyesal dengan sikap teledornya. Saya sudah begitu lapar dan ingin cepat-cepat sampai di rumah dan memasak semangkuk mi ramen yang lezat. Tapi begitu saya keluar dari minimarket hujan yang begitu deras turun dengan tiba-tiba.

     Sambil mengumpat dalam hati saya menyeret sebuah kursi ke sudut teras minimarket, tempat yang saya perkirakan paling hangat. Saya bisa berlindung dari hujan dan angin dingin di sana. Lelaki itu di sana; di sudut lain teras yang tidak begitu terlindung, sibuk menelpon seseorang. Lamat-lamat saya dengar ia bilang ke pacarnya agar jangan menyalahkannya, salahkan saja hujan.

     Saya mencibir. Apa dia begitu takutnya dengan hujan? Dia tidak akan basah kuyup menerobos hujan hingga mencapai mobilnya yang parkir di pinggir jalan. Tidak begitu jauh kalau dia berlari. Jika pun basah dan kedinginan, ia bisa menghangatkan diri lagi di ranjang yang empuk dengan wanitanya. Saya melengos memikirkan kemungkinan itu dan entah bagaimana tiba-tiba merasa sedikit cemburu. Saya tidak punya kekasih, bahkan yang tua dan jelek seperti dia sekalipun.

     “Hujannya bisa saja tidak akan berhenti hingga besok pagi, Nona,”

     Tiba-tiba saja lelaki itu ada di depan saya. Entah karena hujan dan malam yang dingin atau perasaan sepi ataukah keduanya, lelaki itu terlihat hangat di mata saya. Saya tidak keberatan ketika dia juga menyeret sebuah kursi dan duduk di dekat saya. Saya dapat mencium harum parfumnya dengan tidak lagi samar-samar sepanjang obrolan.

     “Bagaimana kalau kau kuantar pulang? Kau pasti sudah kelaparan. Apa rumahmu jauh?” suaranya berat dan ia tersenyum begitu kebapakan.

     Saya pun tersenyum dan setelah basa-basi yang saya pikir perlu akhirnya kami berdua mencapai limosin hitamnya dan masuk ke sana. Saya belum pernah berada di dalam mobil bersama seorang lelaki kecuali ayah saya dan tentu rasanya berbeda.

“Pacarku membatalkan kencan, sayang sekali. Mungkin tiba-tiba dia sakit atau datang bulan,” katanya sambil menyetir, “dan aku suka rambut keritingmu, Nona,”

     Saya menoleh padanya dan tersenyum. Saya tidak tahu bagaimana berkata-kata tapi saya tahu sedikit bagaimana menggoda laki-laki melalui senyuman.

     “Tenang, aku tidak pernah memperkosa…”

     Jadi begitu, Bu, malam itu saya menggantikan pacarnya yang menurutnya sakit atau sedang datang bulan, saya tidak peduli. Dia membawa saya ke rumahnya. Rumah besar yang sepi. Dan saat itu juga saya ingin kembali ke setengah jam yang lalu tapi tentu saja dia tidak akan begitu bodoh melepaskan saya.

     Saya belum pernah bercinta dengan seorang lelaki sebelumnya dan ketika pertama kali melakukannya saya tahu bahwa saya tidak akan pernah bisa menyukai seks lagi setelah ini. Dia kecewa tapi sesuatu dari sikap kebapakannya mencegahnya menunjukkan hal itu secara terang-terangan kepada saya. Dia pasti lah sudah menilai saya dan membandingkan dengan gadis-gadisnya.

Dia tidak menawari saya untuk menginap malam itu. Dan menelpon taksi alih-alih mengantar saya pulang dengan mobilnya. Diam-diam saya merasa merana dan bersumpah tidak akan menemuinya lagi.

     Tapi tiga hari kemudian kami bertemu lagi di minimarket itu. Dia mengejar saya dan meminta maaf untuk sikapnya yang tidak sopan malam itu. Di juga bilang menyesal tidak meminta nomor telepon saya. Dia mengakatakan rindu dan entah bagaimana saya memeluknya begitu saja seolah-olah ini memang saya harapkan.

     Dia menghadiahi saya dengan makan malam di suatu restauran berkelas di tengah kota sebelum kembali bercinta di rumahnya. Dia mengajari saya sekalipun saya bukan tipe yang cepat belajar. Saya malas dan sangat pasif. Dia memuaskan dirinya sendiri dengan saya sebagai manekin yang dia belai dengan patuh.

     “Kau mengingatkanku pada seseorang, Nona,” katanya sambil mengantuk, “kenapa aku baru menyadarinya,”

     Saya hanya menggumam dan membelai pipinya. Saya tak bosan-bosan menciuminya. Akhirnya saya tahu apa yang saya inginkan dan sukai. Kemesraan, seseuatu seperti itu, alih-alih seks yang menjijikkan…

     “Aku tidak bahagia, kau tahu,” dia masih meneruskan racauannya, “lupa bagaimana rasanya bahagia. Kau mendengarku, Nona?”

     “Hmmm…”

     “Tidak peduli berapa banyak wanita dan gadis-gadis yang kutiduri. Mereka semua bodoh…”

     “Kau punya istri?”

     “Dulunya. Sekarang dia di Albania, wanita aneh…dia suka laba-laba..”

     “Bagaimana dengan anak?”

     “Ah, aku ayah yang buruk, Nona,”

***

     “Kau belum menceritakan semuanya. Bagian dia mati,”

     Suri mengedikkan bahu tak peduli sambil menghabiskan tehnya dengan tegukan terakhir. “Saya sudah lupa, itu seperti berabad-abad yang lalu. Mungkin saya mencekiknya atau membiarkannya kelelahan bercinta,”

     Nona Pru tampak sudah tak begitu peduli lagi. Ia beranjak dari sofa dan membereskan cangkir-cangkir teh. Di luar matahari mulai tenggelam. Suri meregangkan punggung sambil mengoceh soal rumahnya yang mirip sekali dengan rumah Nona Pru.

     “Tinggallah beberapa jam lagi untuk makan malam. Aku akan memanaskan sup,”

     Suri menggumamkan ya seraya menjulurkan tangan ke sebuah pigura di atas bufet. Pigura dari kulit kerang itu membingkai selembar foto seorang gadis manis berambut keriting, bermata cemerlang dan berdagu lancip.

     “Apa ini Anda sewaktu masih muda, Nona Pru?”

     “Ya, itu aku, Suri,” Nona Pru menjawab sambil tersenyum lebar.[]

 

Bagikan Postingan ini

Leave a Comment