Keputusan

Cerpen Yola M. Caecenary
Narator Endah Fitriana
Ilustrasi Musik Endah Fitriana

Aku hampir menertawakan diriku sendiri ketika ia menuturkan kisah paradoksal itu. Kuurungkan niatku itu ketika menyadari bahwa tanpa penjelasan dia akan menganggapku menertawakan dirinya. Dan, pada akhirnya aku harus mulai dengan penjelasan panjang dan lebar untuk menjelaskan arti tawaku. Aku sangat enggan melakukannya. Karena itu artinya aku harus membuka lagi album masa lalu dan menelusuri kembali setiap jengkal kehidupan hingga kisah itu terbentuk.

Aku menatap matanya. Ia memang buku yang terbuka. Bukan hanya bagiku, tapi juga bagi orang-orang yang pernah bersinggungan hidup dengannya. Bibirnya mungkin saja dapat berhenti bicara tapi tidak matanya. Entah bagaimana tapi setiap kali melihat ke dalam bola matanya, aku akan langsung tahu apa yang dirasa hatinya saat itu. Mungkin aku mempunyai karunia untuk mudah membaca orang atau kedua matanya memiliki bibir sendiri untuk berucap.

Aku menyimak setiap tuturnya. Mengamati mimik yang menggambarkan dengan jelas perasaannya. Kadang aku ingin mengulum senyum melihatnya bercerita. Ia begitu ekspresif. Rasa senang, kecewa, sedih terbaca jelas di wajah dan suaranya.

“Benar-benar keterlaluan! Dengan dalil sebagai orangtua, mereka merasa bisa memaksakan kehendak mereka. Mereka kira hanya dengan menikah dengan laki-laki pilihan merekalah maka aku akan bahagia. Mereka juga mengatakan kalau mereka tidak akan merestui hubunganku dengan kekasih pilihanku.”

Aku melihat dadanya naik turun dengan cepat. Kugandeng tangannya dan kami duduk di bangku di ruang terbuka hijau di pusat kota. Kubiarkan ia menenangkan dirinya sendiri. Seorang penjual minuman berkeliling dengan sepedanya. Kupanggil dia dan minta dibuatkan dua gelas cappuccino panas.

“Kei…,” panggilku. Kuberikan gelas miliknya. Keira hanya diam melirik gelas tersebut.“ Keira, please. Jari-jariku tidak dapat menahan panasnya lagi.”

“Manja!” cibirnya seraya mengambil gelas dari tanganku dan meletakkannya di sampingnya. Aku cengar-cengir mendengarnya.

“Kau tahu, kalau saja kita di Italia, kita sudah dianggap aneh minum cappuccino di jam empat sore begini,” katanya lagi sambil menoleh padaku. Aku mengangkat alisku mendengarnya dan tersenyum.

Kami masih duduk dengan diam. Sesekali suara seruput terdengar setiap kali aku menyeruput cappuccino-ku. Suara seruput yang berbaur dengan suara riuh di taman. Tidak lama, suara seruput lain juga ikut bergabung. Aku menoleh dan mendapati Keira mulai menikmati cappuccino­ miliknya.

“Apa yang akan kamu lakukan tentang hubunganmu dengan Bram?” tanyaku tanpa basa-basi.

“Aku akan mempertahankannya!” jawabnya mantap.

Aku mengenal Keira. Kami satu fakultas beda jurusan selama empat tahun. Dan selama delapan tahun kemudian setelah kami lulus, kami masih berteman. Aku tahu betul jika Keira sudah berbulat tekad, bahkan prahara pun tak sanggup menghadangnya. Aku menghela napas dan mengangguk. Bukan tanda setuju, tapi karena aku memahaminya. Keira memerlukanku, aku tahu. Kalau tidak ia tidak akan memintaku untuk bertemu hari ini. Mungkin ia tidak memerlukan pendapatku hari ini, tapi kehadiranku. Mungkin juga keduanya. Aku menunggu Keira untuk kembali mulai berbicara. Tidak akan ada guna dan baik jadinya jika aku mendesaknya

“Jika kamu adalah aku, apa yang akan kamulakukan?” tanyanya lagi. Matanya menatap lurus. Memandangi sekelompok anak yang sedang asyik bergelantung dan mengayun di sebuah monkey bar.

Aku ikut memandang kemudian menghela napas.

“Aku pun akan mempertahankannya.Aku akan mempertahankan orang yang aku cintai.” Aku mengecap kegetiran dalam kalimatku. Kecapan yang hanya dirasakan olehku dan aku berharap tidak disadari oleh Keira.

“Apa lagi yang harus kukatakan pada mereka? Mereka bersikeras sama seperti aku bersikeras.

“Tetaplah bersikeras,” jawabku.Keira menatapku.Aku balas menatapnya dan mengangguk. “Dengan cara yang lembut, santun, tanpa hilang rasa hormatmu pada mereka, tunjukkan hal positif yang dimiliki oleh Bram pada orangtuamu. Katakan alasan terkuatmu kenapa kamu mempertahankan hubungan kalian. Tegaskan bahwa kamu adalah orang dewasa yang bisa dan akan mengambil keputusan untuk dirimu sendiri dan kamu bertanggung jawab atas keputusanmu. Karena ini adalah hidupmu,” tandasku. Ini adalah hidupmu.Aku mengulang kalimat terakhirku dalam hati. Dan aku menyadari kepada siapa kutujukan kalimat itu.

*

“Ibu tidak dapat menerima Selvi sebagai menantu Ibu.”

“Aku tidak mencintai Riana, Bu.”

“Riana sangat mencintaimu. Kamu bisa belajar mencintainya.”

“Apa ini, Bu? Apa kita masih hidup di zaman perjodohan oleh orangtua?”

“Arda, Ibu tidak akan merestui hubunganmu dengan Selvi. Kamu tidak akan mendapat restu dari Ayah dan Ibumu kalau kamu tetap nekat menikahinya.”

*

Dua tahun sudah berlalu sejak perbincanganku dengan Ibu mengenai siapa yang harus kunikahi. Dan aku mengalah. Aku berhenti berkeras. Aku memutuskan hubunganku dengan perempuan yang kucintai dan menikah dengan Riana, perempuan pilihan Ibu. Memasuki dua tahun pernikahan tanpa cinta bukanlah hal yang mudah bagiku. Aku mencoba untuk menanam benih cinta dalam hatiku untuk Riana, tapi cinta itu tak pernah tumbuh. Hingga aku mulai membiasakan diriku dengan rumah tangga kami yang terus berjalan tanpa cinta. Aku tidak tahu hingga kapan aku dapat bertahan. Terkadang aku iba pada Riana yang selalu mencoba menunjukkan cintanya padaku tanpa aku dapat membalasnya. Aku hampir tidak pernah menceritakan hal ini pada siapa pun, termasuk pada Keira. Yang Keira ketahui adalah aku menemukan cinta pada hati Riana dan memilih untuk menikah dengannya. Diperhadapkan pada situasi yang sama denganku, aku tidak ingin Keira mengulang sejarah. Aku tidak ingin sahabatku menjalani hidupnya dengan penyesalan bersama dengan orang yang tidak ia cintai.

*

“Arda!” Panggilan Keira membuatku kembali ke dunia nyata. Aku menoleh ke kiri dan mendapati Keira sedang mengernyitkan dahinya. Aku menunggu dengan sesekali mengalihkan pandanganku ke jalan. “Ada apa denganmu?” tanyanya. “Aku menunggu jawabanmu. Tapi sepertinya kamu tidak memerhatikan.”

Aku tergagap dan menyadari bahwa sejak aku masuk ke dalam mobil pikiranku tidak ikut serta rupanya.

Sorry, Kei, aku memikirkan pekerjaan,” ujarku berbohong.

“Bisa kau ulang pertanyaanmu?” pintaku.

“Aku bertanya padamu, bisakah kau menolongku bicara dengan orangtuaku?”

Aku menatap Keira tidak percaya.

“Keira,” aku menghela napas, “kamu bukan anak kecil. Bukan aku yang harus kamu perjuangkan di hadapan orangtuamu. Apa kamu pikir dengan aku ikut bicara, orangtuamu akan mengubah pendirian mereka begitu saja?”

“Kau sudah seperti anak laki-laki mereka, Arda,” potongnya.“Pendapatmu mungkin saja didengar mereka.”

“Keira, menurut pendapatku, kalau ada orang ketiga yang harus terlibat dalam hal ini, ialah Bram sendiri. Tidak kah terpikir olehmu bahwa Bram semestinya punya peran serta dalam usaha mempertahankan hubungan kalian? Entah apakah kalian pernah membicarakan hal ini atau tidak terpikirkan juga oleh Bram. Kei, menurutku, Bram harus mempunyai keberanian untuk memperjuangkanmu di hadapan orangtuamu. Biarkan orangtuamu melihat kesungguhan hati Bram.”

Aku tidak dapat melihat ekspresi Keira dengan jelas di dalam mobil yang temaram. Tapi, mengenal Keira, dan dengan tidak adanya bantahan, aku yakin ia sedang berpikir keras tentang kata-kataku.

Setelah mengantar Keira, aku lantas merasa hilang arah.Bagi kebanyakan orang, akhir minggu menjadi alasan paling tepat untuk bersama dengan orang yang dicintai. Tidak denganku.Sedapat mungkin aku tidak berbohong pada Riana. Cukup aku menyakiti hatinya dengan cinta yang tak dapat kubalas. Aku tidak perlu menambahnya dengan kebohongan-kebohongan kecil sekalipun. Aku mengatakan pada Riana bahwa aku menemui Keira hari ini. Riana yang tidak banyak bertanya pun telah mengenal Keira sebelumnya.Ia sangat tahu kami sudah bersahabat jauh sebelum ia mengenalku. Tapi sekarang, setelah Keira tidak di sampingku lagi, dan aku belum berkehendak untuk pulang, aku tidak tahu apa yang harus kulakukan. Kulajukan mobil di antara keramaian akhir minggu.Membunuh rasa bosanku dengan memutar musik keras-keras.

Entah sudah berapa kali jarum panjang berputar satu putaran penuh ketika aku memasukkan mobil ke garasi. Bagai pencuri di rumah sendiri aku mengendap masuk. Aku yakin Riana telah terlelap.Di dalam rumah hampir seluruhnya gelap. Dengan berupaya sesedikit mungkin mengeluarkan bunyi-bunyian aku berjingkat ke arah tangga menuju kamar kami.Langkahku terhenti ketika aku menyadari sesosok tubuh berbaring di sofa. Aku mendekat dan mendapati Riana tertidur di sana. Aku menarik napas.Kupandangi wajah perempuan yang sedang tertidur pulas itu. Gorden yang tidak tertutup sempurna menjadi jalan masuk bagi biasan cahaya bulan yang jatuh ke bumi, sesekali menerpa wajah lembutnya. Aku mengamati Riana Ia cantik, aku tidak mengingkarinya. Hatinya pun baik, aku pun menyadarinya. Dan ia mencintaiku. Sekali lagi aku menarik napas dan mengusap wajahku.Aku bangkit tanpa membangunkannya dan beralih ke ruang kerja.

*

Harum telur dadar membangunkanku. Aku berusaha bangkit dari sofa ruang kerja dan mengumpulkan semua daya untuk mengusir rasa kantuk dan lelah.Aku berjalan ke dapur dan mendapati Riana dan asisten rumah tangga kami tengah menyiapkan makan pagi.Riana melihatku dan menyapa.Aku balas menyapanya.

“Sarapan sudah siap kalau kamu mau makan,” ujarnya sambil memasukkan lembaran roti ke alat pemanggang.

“Aku mau mandi dulu,” kataku sambil mengangguk.Riana tersenyum dan melanjutkan kegiatannya.

Air yang mengalir jatuh dari pancuran berderai membasahi kepala dan tubuhku.Untuk beberapa saat aku mematung di bawahnya.Membiarkan alirannya membasuh kepenatan dan kebingungan yang menyergap tubuh dan pikiranku. Kubiarkan diriku tidak memikirkan apa pun.Kututup telinga jiwaku dari suara-suara dalam benak dan hati yang terus mencari celah untuk menguasaiku kembali.Telinga ragaku hanya menangkap deraian air yang menerjang tubuh dan lantai.Kuijinkan tubuhku bergeming menerima sentuhan dingin air dari kepala hingga ujung jari kaki selama beberapa menit kemudian.

*

Wangi durian memonopoli sudut rumah.Hari Minggu memang hari durian.Aku sangat menyukai buah kontroversial itu.Riana mengetahuinya. Di hari Minggu, hari di mana aku hampir selalu dapat dipastikan ada di rumah, Riana akan membuat kudapan dengan durian sebagai bahan dasarnya.Entah apa yang hari ini ia buat. Rasa ingin tahuku mengajak kakiku kembali ke dapur.Di antara ruang makan dan dapur, aku berpapasan dengan Riana yang sedang menuju ruang makan. Kedua tangannya membawa sepiring panekuk vladurian dan semangkuk saus coklat. Mirip kerbau dicocok hidung aku mengikuti langkah Riana.Aku termangu memandangi meja makan.Riana tersenyum melihatku.“Duduklah, kita makan,” ajaknya sambil menarik kursi.Aku mengikuti tindakannya dan duduk di hadapannya.Riana meletakkan dua potong panekuk di piringku.Aku membiarkannya. Biasanya kala Riana hendak melayaniku di meja makan, dengan halus aku akan menolaknya dan mengatakan aku akan melakukannya sendiri. Dan dengan tenang Riana akan membiarkanku. Di awal-awal pernikahan aku masih menangkap kekecewaan setiap kali aku menolaknya.Lama-kelamaan iamungkin mulai terbiasa.Namun itu tidak pernah menyurutkan niatnya.Sesekali kubiarkan hanya untuk membuat hatinya senang.Aku mulai menikmati panekuk durian dalam diam. Sesaat aku memandang Riana yang ternyata sedang memandangiku.Aku berusaha menghindari kontak mata dengannya.Kutatap kembali piring makanku.

“Bagaimana kabar Keira?” tanya Riana mengawali percakapan denganku.

“Dia baik,” jawabku sembari mengangguk dan meneruskan makanku.

“Keira dan Bram, bagaimana?” lanjut Riana yang membuatku mengangkat kepala dan menatapnya dengan tatapan tidak mengerti.Riana tersenyum melihat ekspresiku. “Dua hari lalu Bram datang ke kantor. Ia bertemu Hardy, sahabatnya. Kamu juga tahu kalau Hardy sahabatku dari SMA, kan?” tanyanya sambil meletakkan pisau dan garpu di sisi piring.Aku mengangguk.“Hardy menceritakan padaku apa yang sedang dihadapi Bram. Pertimbangannya menceritakan hal itu padaku karena ia tahu latar belakang pernikahanku denganmu. Walau sesungguhnya aku berada di posisi yang berbeda dengan Keira.”Riana menatapku.Aku diam mendengarkan penuturannya.Aku menunggu Riana melanjutkan.Aku mengawasinya.Matanya terus menatapku. “Arda,” ia melanjutkan, “aku tidak tahu kapan kamu dapat mencintaiku. Tapi aku ingin tahu, apa kamu bisa membiarkan Keira menjalani kehidupan pernikahan yang sama seperti yang kamu jalani bersamaku?”Riana menuntaskan penjelasannya dengan pertanyaan yang menusukku.Aku terus menatapnya.Menatap perempuan yang tidak kucintai tapi mampu mencintaiku. Aku tidak tahu terbuat dari apa hatinya. Tapi aku mengenal Keira.Keira tidak mungkin bertahan dalam pernikahan tanpa cinta.

Aku bangkit dari kursi dan mengambil kunci mobil. Tiga langkah setelah aku melewati pintu, aku berbalik dan seperti biasa aku akan menemui sosok Riana berjalan di belakangku. Ia selalu mengantarku setiap kali aku akan pergi.

“Riana, aku telah memilihmu.Aku tidak akan biarkan pernikahanku gagal.”Aku mengatakannya tanpa keraguan sedikit pun.Riana menatapku lekat-lekat, mencari kebenaran dari ucapanku.Aku membalas tatapannya, mengirimkan kebenaran itu.Seulas senyum tampak di bibirnya.Sesederhana itu tapi aku tahu arti senyum itu.Aku pun tersenyum.Ya, itulah keputusanku.Keputusan yang pada akhirnya kuambil dengan sepenuh hati.Sungguh menikahi Riana.Aku memerlukan dua tahun untuk sampai pada keputusan ini.Aku sungguh tidak ingin Keira mengalami pengalamanku. Aku siap menceritakan pada Keira latar belakang pernikahanku dengan Riana. Aku merasa tidak adil dengan membiarkannya bergumul dengan perkara yang pernah kupijak sebelumnya tanpa dia punya kesempatan untuk tahu, sebelum dia mengambil keputusannya sendiri.

 

________________

Bagikan Postingan ini

Leave a Comment