Perempuan Pengembara yang Menunggangi Seekor Lembu

Cerpen: Artie Ahmad
Versi Cetak Koran Tempo 29 September 2018
Narator: Indah Darmastuti
Ilustrasi Musik Endah Fitriana

DOWNLOAD

 

 

Lapangan tempat pembakaran mayat itu telah senyap. Sebentar lalu, suara gemeretak kayu yang membakar jasadnya masih terdengar riuh. Kini, tubuhnya telah habis dilalap api, meninggalkan abu dan segenggam sisa tulang-belulang yang tak bisa lebur dimakan bara. Tak lama setelahnya, dia melihat sisa tubuhnya dibawa pergi seorang kawan lama. Di dalam kendi yang dicat serupa emas itu, sisa tubuhnya disemayamkan. Entah mau dibawa ke mana sisa dirinya itu, ia tak peduli.

Senjakala yang ditingkahi mendung telah melahirkan malam jauh lebih gegas. Dia tak juga beringsut dari tempatnya berdiri sejak tadi. Tempatnya untuk melihat upacara pembakaran mayat. Pembakaran dirinya sendiri. Di bawah naungan pokok mahoni, dia seperti patung yang baru saja selesai dipahat. Bergeming tanpa adanya nafsu untuk beranjak dari tempatnya berdiam. Sampai akhirnya dia sedikit terperanjat, saat telapak tangannya yang telah mati dan dingin itu dijilati benda lunak yang basah.

Seekor lembu berwarna hitam berada di sampingnya. Entah dari mana lembu itu datang, ia tak tahu. Lembu itu menggoyang-goyangkan ekornya. Dengusnya terdengar memburu, seolah ingin mengajak perempuan yang sepucat pualam itu beranjak pergi. Sesekali lidah lembu itu masih menjilati telapak tangannya.

“Dari mana kau datang?” bisik perempuan itu sembari mengelus kepala si lembu.

Tak ada jawaban. Hanya lenguhan pendek yang terdengar.

“Kau lihat, di tengah lapangan itu, masih ada sisa gosong bekas pembakaran mayatku. Kau tak takut denganku? Kini aku tak lebih dari sesosok hantu,” perempuan itu tersenyum simpul.

Lagi, ekor lembu itu bergoyang-goyang. Lenguhannya terdengar perlahan namun tidak lemah. Seolah-olah dia sedang menjawab pertanyaan perempuan di hadapannya. Dia seekor lembu, yang tak mengenal takut apalagi pada sesosok hantu perempuan.

Perempuan itu tak lagi mengeluarkan kata-kata. Dia kembali ke posisinya awal. Bergeming. Matanya hanya menatap lurus. Malam mulai merambat. Senyap dan gelap kawin menjadi kekasih kelam yang sedikit menakutkan. Dari balik pohon yang tak jauh dari tempatnya berdiri, perempuan yang tubuhnya telah habis dibakar api itu melihat sesosok tubuh kecil melompat ke tengah lapangan. Tubuh gadis kecil berumur tak kurang dua belas tahun. Gadis kecil itu, tak lain adalah dirinya sendiri. Kini, gadis kecil bayangan dirinya itu melakukan hal sama. Gadis bertubuh kurus dengan dua kepang di kepalanya itu sedang mengamati sisa pembakaran jasadnya. Meski tak lama setelahnya, dia lesap dibawa angin yang berembus secara perlahan.

Perempuan itu masih terdiam. Meski lembu yang sedari tadi berada di sampingnya melenguh beberapa kali.

“Kau tahu, di tubuh gadis kecil itulah kali pertama aku melakukan pengembaraan sebagai perempuan yang selalu meneguk luka. Mungkin kau belum tahu itu.” Ucap perempuan itu sembari menatap mata si lembu.

*

Api di tungku bergoyang-goyang terkena udara dari tiupan ibu. Meminang malam tanpa makanan di tengah dingin yang menusuk-nusuk tulang, gadis kecil berkepang dua itu lebih memilih berdiang di depan perapian bersama ibunya. Ibunya, seorang wanita yang sejatinya masih cukup muda. Namun gelombang hidupnya yang kerap pasang seakan membawa dirinya dalam kerentaan yang lebih cepat dari semestinya. Rambutnya telah berwarna dua. Wajahnya yang belum berlumur banyak kerutan itu terlihat senantiasa lesu. Tubuhnya begitu ringkih dan menyedihkan di ambang umur empat puluh tahun.

Gadis kecil berkepang dua yang belum genap dua belas tahun umurnya itu hanya menggerak-gerakan kedua telapak tangannya di bibir perapian. Ibu telah lama kehabisan beras. Singkong yang bisa mereka makan telah habis direbus tadi pagi. Siang sampai malam ini, mereka tak makan apa pun. Hanya air putih saja yang mereka teguk untuk mengisi perut yang semakin melilit diterkam rasa lapar.

Suara pintu depan yang berdebam itu membuat mereka terperanjat. Gigil lantaran lapar menyilih menjadi gigil lantaran ketakutan. Suara langkah kaki yang berat namun memburu itu terdengar. Sebentar lagi manusia menakutkan itu akan muncul di pintu dapur. Benar saja, lelaki itu berdiri dengan sedikit limbung. Matanya yang merah menyala bagai sepasang mata milik lampor yang kerap merampas kedamaian malam kanak-kanak.

“Kau punya uang? Aku minta uang. Bajingan Sulaman itu mengalahkanku di meja judi hari ini,” suara berat itu terdengar. Basah dan serak. Aroma tuak yang membuat pening kepala menguar dari mulutnya yang busuk itu.

“Tidak ada uang, Bang. Bahkan beras habis. Singkong saja tak terbeli.” Jawab perempuan yang merenta lebih cepat itu dengan rasa takut.

Lalu pukulan menghantam kepalanya. Perempuan itu terjerembab. Tangisnya tertahan. Tak lama lelaki pemabuk yang gila judi itu menghilang ke dalam gelap. Entah mau ke mana dia, mungkin mencari pinjaman uang ke kenalan untuk kembali berjudi. Gadis kecil berkepang dua hanya melihat ibunya dari sudut dapur. Dia menggigil sembari menangis. Tak lama gigilnya menjadi gemetar yang hebat tatkala dia melihat ibunya mengakhiri semuanya dengan pisau dapur yang memutus urat nadi di leher. Kali pertama dalam hidupnya, gadis kecil itu melihat seseorang membunuh diri. Ibunya sendiri.

*

Lelaki bermulut busuk yang kerap mabuk tuak itu menyimpan pura-pura dalam dukanya. Selepas pelayat pulang, di bergegas ke tempat judi. Uang dari pelayat dalam sekejap amblas di meja judi. Dengan badan sempoyongan, dia kembali ke rumah. Kali ini dia pulang dengan seorang lelaki asing.

“Dia anakku satu-satunya. Sudah mulai remaja, sebentar lagi dewasa dan matang. Kau bisa membawanya. Tentu saja dengan ketentuanku tadi.” Ujar pria pemabuk itu dengan lelaki asing yang dibawanya.

Tak lama, gadis berkepang dua telah berpindah tangan. Dari tangan ayahnya yang kerap mabuk dan gemar berjudi ke tangan lelaki asing yang bahkan kali pertama ini dia lihat. Di tangan orang baru itu, dia diajak berkeliling ke tempat-tempat asing. Dari meja judi satu ke tempat meja judi lain, gadis berkepang dua selalu dibawa.

Waktu seakan cepat sekali berlalu. Bulan demi bulan berganti, bahkan tahun baru seakan cepat bertandang. Gadis kecil berkepang dua telah menjadi seorang perempuan muda yang mengembara. Selama bertahun-tahun mengikuti lelaki asing, dia merasa ada yang berbeda dari lelaki yang memeliharanya. Lelaki itu, yang ahli di meja judi tak pernah menyentuhnya sebagai mana layaknya seorang lelaki kepada seorang perempuan. Dia hanya menjadikan perempuan muda itu tak ubahnya pesuruh dalam hal-hal tertentu. Padahal, di hati kecil perempuan muda itu telah tumbuh rasa yang begitu purba bagi manusia. Cinta kepada lelaki asing yang selama ini menjadi tuannya.

“Aku tak bisa menyentuh seorang perempuan. Aku tak bisa jatuh cinta, kepada seorang wanita.” Ujar lelaki asing itu suatu hari tatkala perempuan muda memberanikan diri bertanya, mengapa lelaki yang selalu bersamanya sama sekali tak menyentuhnya.

Tak lama setelahnya, lelaki asing membawa perempuan muda pengembara itu ke kota asing. Di sana, dia menyerahkan perempuan muda itu kepada seorang perempuan tua. Seorang induk semang.

“Aku tak menjualmu. Hanya menitipkanmu kepadanya. Sebentar lagi aku akan mati. Sayang jika kau kubiarkan hidup sendiri.”

Ucapan lelaki itu menerbitkan sendu di dada perempuan muda. Hari itu juga, dia tinggal di kota yang terlahir di jantung kota besar. Tumbuh di dalam kota yang menua dengan degup yang berbeda. Kota yang sesak dengan rumah-rumah petak. Di kota ini, perempuan-perempuan muda tak perlu memiliki malu. Mereka kerap meneguk bergelas-gelas bir layaknya meminum sari buah. Got-got aliran air di kota kecil yang kerap dihujani kutukan itu kerap mampat lantaran karet-karet alat kontrasepsi dibuang ke dalamnya. Jorok dan penuh dengan hal-hal bedebah.

Perempuan muda yang dulu kerap mengembara dari meja judi satu ke meja judi lain, kini mengembara ke satu tubuh lelaki ke tubuh lain. Luka demi luka dia reguk saban waktu. Tangisnya tak lagi terdengar. Bukankah hidupnya sudah menderita sejak dalam kandungan? Ayah durhaka telah melahirkan luka di usianya yang masih begitu muda. Ibunya yang tak berdaya menerbitkan duka panjang bagi dirinya. Lalu lelaki asing yang dicintainya, melemparkan dirinya ke kota yang sarat dengan hal-hal celaka.

“Ada yang ingin aku lakukan sebentar lagi. Mimpi yang kujadikan kembang tidur saban malam,” ucap perempuan muda itu kepada kawan lama yang kebetulan hari itu bertandang.

Kawan lama, seorang lelaki setengah baya. Kawan karib lelaki asing yang dulu kerap mengajaknya mengembara. Malam itu, mereka bercakap-cakap layaknya dua manusia yang selama ini memendam rindu untuk bertemu. Tentu saja, setelah perempuan muda itu memberikan kepuasan di atas tilam untuk kawan lama yang baru saja bersua.

“Memangnya apa mimpimu itu?” tanya kawan lama sembari mengusir kantuk yang tiba-tiba melanda kedua matanya.

“Kematian.” Ucap perempuan muda itu datar.

Mata kawan lama urung memicing. Dia menoleh dengan kaget. Dan keterkejutannya bertambah tatkala perempuan muda itu kehilangan napasnya. Entah bagaimana mulanya, dia tak tahu. Ajal itu datang secara tiba-tiba. Seakan alam menjawab mimpi perempuan muda yang dulu dikenalnya sebagai pengembara. Kematian itu datang, bahkan sebelum mereka beringsut dari atas tilam di kota kecil yang sarat dengan hal-hal celaka.

*

Lembu itu mengeluh. Suaranya terdengar tak sabar. Kali ini perempuan itu beranjak dari tempatnya. Dielusnya kepala si lembu. Di atas punggung lembu yang hitam kelam itu, dia duduk dengan khidmat.

“Ajaklah aku pergi dari sini. Tapi aku tak ingin kau ajak terbang ke langit. Aku belum hendak pergi ke nirwana. Bawalah aku keliling dunia. Jika kita temui perempuan sepertiku, ajaklah ia turut menunggangi punggungmu ini, karena menjadi perempuan dengan nasib buruk sepertiku adalah luka di atas luka.” Ujar perempuan itu perlahan.[]

 

 

 

 

 

 

Bagikan Postingan ini

Leave a Comment