Senja di Pangrango

Cerpen: Marina Herlambang
Narator: Noer Atmaja
Ilustrasi Musik Endah Fitriana

 

Dari kabut yang mulai tipis di antara daun dan semak setapak pangrango, matamu sayup, menatap kosong bebatuan, jalan seolah tak berujung dengan batuan yang tidak sama rata, kakiku terpeleset oleh licin lumut yang menempel di setiap batu,

“Berjalanlah di depanku”  Ucapmu, sesaat kuperhatikan wajahmu, wajah itu nampak sedikit berubah dengan bulu-bulu di bawah hidung dan  sekitar dagu, mungkin dia sedang malas bercukur beberapa hari ini, atau memang dia sengaja memelihara kumis dan janggutnya, aku sadar satu hal bahwa usia kami sudah semakin dewasa, bahkan menua,

“Kita hanya bisa menunggu waktu”  sampai waktu mempertemukan dan membawa kami ke lembah ini.

“Pangrango..”  Tanpa banyak berucap aku berjalan di depannya, membiarkan waktu mecipta hening, kami sama-sama diam, entah karena berkonsentrasi dengan jalan setapak yang harus dilewati atau kami diam dengan pikiranmasing-masing, atau mungkin dia sedang memikirkan aku dan  kekasihnya yang sekarang, dan aku pun sedang memikirkan dia dan kekasihku yang sekarang, entahlah, kami terbalut hening.  Kadang aku masih belum percaya bahwa laki-laki yang hari ini bersamaku mendaki jalan setapak adalah dia, laki-laki yang pernah ingin meminangku beberapa tahun lalu.

 

****

“Adikku sudah menikah, coba kau dekati ibuku, siapa tahu dia memungutmu jadi menantu” Aku tercekat, dia sahabatku, atau mungkin kepalanya habis terbentur batu ketika mendaki Gunung Semeru.

“Masa aku harus mendekati ibumu, memangnya aku mau menikah sama ibumu apah” Aku paham betul maksudnya, namun aku kurang yakin.

“Ya enggak lah, bodoh sekali kamu ini” kami sempat melakukan beberapa hal, memberi tahu orang tuaku, memberi tahu orang tuanya, mencari waktu kapan?. Hingga suatu hari ketika rasa ingin memiliki begitu kuat namun harus terbentur dengan jarak, keegoisan untuk saling mempertahankan pendapat masing-masing.

“Aku harus pergi ke Michigan”

“Kita menikah sekarang, jangan pergi”

“Menikah denganmu adalah impianku, namun kau tahu upayaku untuk mendapatkan beasiswa itu”

“Waktu akan merubah siapa pun, termasuk kau dan aku”

Matamu merebak aku bersikukuh dengan pendapatku, begitupun juga dirimu, kita sama-sama meradang, sama-sama terdesak situasi, kau harus mengembangkan perusahaan keluargamu dan aku harus melanjutkan kuliahku ke Michigan, kota kecil di benua Amerika.

“Baiklah tak perlu ada komitmen, jika itu kau anggap akan mengungkungmu. Selesaikan urusanmu, begitu juga aku, jika kita berjodoh kita akan kembali bertemu” kami sepakat untuk menjalani waktu yang biasa, tanpa rasa, tanpa rindu dengan jarak, meski kuakui tak merindunya adalah hal yang mustahil bisa kulakukan, namun keegoisan, keadaan, kebutuhan yang menuntut, memaksa untuk sepakat, mengubur rasa sementara, meski berat, karena keputusan sudah ditetapkan.

 

****

Aku berhenti, nafasku sesak, aku mulai terbatuk,

“Kalau cape istirahatlah” aku duduk di atas batu besar jalan setapak, batukku semakin keras, nampaknya aku sudah tak terbiasa untuk berjalan terlalu jauh.

“Mau minum” ada nada khawatir dari suaranya. Aku menggeleng, sekilas kuperhatikan wajahnya, kekosongan masih nampak, kami masih saling diam. Apa yang sedang kau pikirkan, lelaki berwajah pucat yang pernah menjadi milikku dulu. Masih kuingat gigilku pada salju Michigan ketika hatiku begitu merindunya, rasanya lebih sesak dari ini. Kami sama-sama membisu, betapa tidak ruang dan waktu bersekutu mempermainkan kami. Di sana mungkin seorang gadis mempertanyakan kemana dia pergi hari ini, dan aku harus berbohong pada kekasihku. Dia benar waktu akan merubah segalanya, namun waktu pula yang kembali mempertemukan kami. Ingin kutanyakan bagaimana kabar percintaannya sekarang, rasanya aku pun tak akan mampu menjawab jika dia menanyakan hal yang sama padaku, masih kuingat saat kami berpetualang menyusuri pesisir pantai, bergumul dengan ombak, menyelam dan bercanda dengan para ikan badut di dasar laut. Atau ketika kami berpetualang pada lembah, bukit, danau, bahkan ketika kami membuntuti para gerombolan kupu-kupu dan  capung di ladang ilalang. Ingin mengulang masa yang sama namun tak mungkin dia sudah menjadi milik kekasihnya dan aku menjadi milik kekasihku sekali lagi dia benar waktu bisa merubah segalanya.

“Akkh..” aku terpekik, kakiku terpeleset dengan sigap tangannya merengkuhku,

“Cari batu yang rata untuk pijakan, sepertinya habis gerimis batunya jadi agak licin” ucapnya tanpa menoleh kearahku,

“Maklum aku sudah mulai tua, sudah lama tak mendaki rasanya cape sekali” nafasku terengah-engah sambil berjongkok aku mengatur nafas dan batukku

“Istirahatlah dulu kita lanjutkan beberapa menit lagi” aku hanya mengangguk kemudian duduk pada batu besar di pinggir jalan setapak,

“Sebaiknya kita mendaki tak perlu sampai ke puncak, kau akan kehabisan tenaga nanti” aku hanya mengangguk sambil menarik nafas kuperhatikan tatapannya yang masih kosong begitupun dengan aku, kemudian kami terus berjalan mendaki dan terus mendaki, melewati beberapa telaga yang dulu pernah mengukir cerita tentang aku dan dia.

“Tak perlu ke lembah edelwise” dia memandangku untuk beberapa saat, kemudian menarik nafas dalam dan menghembuskannya, seperti menahan beban yang sangat berat.

“Baiklah kita mendaki sampai Curug Cibeurum saja” aku mengangguk, sebenarnya hatiku yang lelah, tersesat pada labirin-labirin kenangan bersamanya. Dan aku harus kembali terdampar pada kenyataan, dia bukan miliku lagi.

 

****

Derasnya air terjun mengingatkanku pada musim gugur di Michigan,  hawa sejuk yang sama, yang dalam sepoi anginnya selalu menerbangkan rindu untuknya, lelaki yang berada di sampingku. Kutatap wajahnya, mata itu semakin dalam menatapku,  semakin dekat, mendekap “Aku sangat merindumu, apakah kau tahu itu?” dapat kudengar detak jantung yang terpompa sangat cepat, “Aku pun sama” aku ingin kembali pada waktu di mana kita saling berjabat erat, andai kau tahu itu. Kunikmati kehangatan meski sejenak, mengulum rindu meluapkan rasa yang bergemuruh.

“Kita harus pulang”  perlahan kurenggangkan tubuhku, aku merasa terdampar pada hutan ingatan, kami lupa bahwa seharusnya ini tak pernah terjadi.

“Kita pulang sekarang” kau masih lekat menatapku,

“Berlarilah bersamaku” kemudian tanganmu menggengam erat tanganku, pada perjalanan  pulang, kita tak hanya berjalan menuruni jalan setapak, kadang berlari juga melompat, tak kurasakan rasa lelah meski batu-batu mulai membuat lecet jempol kaki. Beberapa kali aku terpeleset, beberapa kali juga tanganmu yang kokoh merengkuhku,

“Kita tak akan terjatuh percayalah padaku, aku akan melindungimu” kau tersenyum, wajahmu tak lagi kosong, sorot matamu begitu hidup, kita lupakan sejenak tentang dia yang menunggumu di sana dan ia yang sedang menungguku di tempat yang lainnya. Aku  hanya ingin berlari berlari bersamamu menuruni bukit. Berlari meninggalkan kekosongan yang tadi.

 

****

Matamu menatapku lekat, kau tersenyum, kita sama-sama merasa puas mendaki dan menuruni setapak Pangrango, meski bebatuan terjal dan licin lumut mengintip, namun kita mampu melewati hal itu.

“Maukah kau kembali bersamaku” seulas senyum dari bibirnya yang tipis dan tatap dari sudut matanya yang lancip membuat jantungku berdegup semakin kencang.

“Bawa aku pergi” ucapku. Benar katamu dulu, kalau memang jodoh tak akan lari kemana, kita sama-sama tak mungkin lagi untuk terus membohongi ia dan dia, kekasihmu dan kekasihku, terlebih lagi membohongi perasaan sendiri. Mungkin ini yang terbaik untuk semua, bagaimanapun akan sangat menyakitkan untuk Ia jika tahu kau mencintai aku, dan akan sangat menyakitkan untuk dia jika tahu aku mencintaimu. Senja mulai menyebar jingga dari balik bukit. Cahayanya yang ranum menerpa wajah kita, kau dekap aku lebih erat lebih dekat, dalam hati berjanji, aku tak akan mau lagi berpisah denganmu, karena hatiku sudah memilihmu, miliki aku dengan cintamu.

 

 

 

 

 

Bagikan Postingan ini